Senin, 17 September 2012

Sumber Daya Alam Aceh dalam Sejarah Penguasaan yang Menjajah


auditor : Saiful bahri

Aceh memiliki sejarah panjang perebutan sumber daya alam, dari zaman kolonial sampai sekarang. Sumber daya alam Aceh tidak hanya menjadi lahan korupsi, tetapi juga memicu kekuasaan yang menjajah dalam bentuk kebijakan yang diatur secara formal oleh Negara. Negara telah begitu jauh merambah hak terhadap sumber daya alam Aceh untuk memperkaya beberapa kelompok pejabat mereka ketimbang menjaga sumber daya alam sebagai asset untuk bangsa.

Sumber daya yang melimpah di hutan Aceh 
Hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah asal muasal terbentuknya wilayah kerajaan Aceh. Di dalam bukunya - penulis hikayat dan buku berbahasa Aceh, Tgk Affan Jamuda Menulis:
“Asai Nanggroe Aceh phon cit nibak rimba Tuhan, rimba raya nyang gohlom rame ureung Nanggroe, nyangna cit aulia-aulia Allah. Teuma ji wangsa Parsi-nyan neucah rimba neupeujeuet keutanoh blang bak neumeugoe, neupeupuga gampong bak neumeunanggroe ngon neumeu-aneuk cuco. Neumeususah payah dalam rimba Tuhan……… Neuilay daya neucah rimba ngon huteuen beuraleuen sampoe jeut keunanggroe.” (Tgk. Affan Jamuda, “Pengajaran Peuturi Droe Keudroe,” Angkasa Muda,1988).

Masih menurut Tgk Affan Jamuda, seiring berjalannya zaman sekitar abad 14 Masehi, di wilayah pesisir hutan Aceh telah ditanami lada yang lebat. Tanaman lada paling banyak ditanam di perbukitan yang mengarah ke Selat Malaka sekitar perbukitan Krueng Raya. Ini dimaksudkan agar petani-petani lada pada masa itu dapat memata-matai setiap kapal asing yang berlayar dan singgah di Selat Malaka. Jika ada kapal asing yang mencurigakan, maka para petani lada tersebut segera melaporkannya ke Sultan.

Pada masa itu lada di hutan-hutan Aceh telah menjadi barang ekspor yang utama. Cina merupakan tujuan utama ekspor lada hingga berlanjut pada permintaan dari pedagang Barat. Di hutan-hutan Aceh juga banyak dijumpai ulat-ulat penghasil sutera. Menurut Laksamana Augustin de Beaulieu dalam buku kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang ditulis oleh Denys Lombard, sutera di Aceh kuning dan sangat digemari di seluruh Sumatera. Para petani mengusahakannya dalam jumlah yang banyak. 

Hasil-hasil hutan lainnya seperti minyak tanah juga ditemukan. Raja Aceh pernah membakar dua kapal Portugis yang sedang diperanginya dengan minyak itu di dekat Malaka. Tanah cempaga atau belerang, kapur, kemenyan dan emas juga pernah ditemukan di masa itu. Utusan Belanda di Aceh, Tuan Croc pernah dihadiahi orang Aceh sebuah batu sebesar telur angsa yang bergaris-garis emas.

Perebutan sumber daya alam Aceh oleh Agressi Netherland East Indies
Pada 5 juli 1873, Sebuah surat kabar bernama “The New York Times” menulis laporannya dan memuat berita perselisihan yang di keluarkan di Den Haag. Perselisihan itu direkayasa sedemikian rupa dengan maksud untuk merampas semua kekayaan alam Aceh. Surat kabar “Basirat” di Istambul pada masa itu menulis bahwa, satu kapal perang Belanda menghampiri perairan Kuala Aceh dan meminta Aceh supaya menyerah kepada Belanda. Sultan Aceh menolak permintaan itu dan mengutus duta ke Istambul guna meminta bantuan dari khalifah Islam jika meletus perang dengan Belanda. 

Setelah hampir dua tahun kemudian, lebih dari 20 buah kapal perang berbendera Belanda berlabuh di Kuala Aceh. Belanda melancarkan perang terhadap Aceh sampai tahun 1942 tanpa sebuah kemenangan. Imperium Netherland East Indies akhirnya bangkrut dan runtuh karena terlalu lama mendanai perang Aceh (Baca: Yusra Habib Abdul Gani, 5 April dibawah Bendera Belanda). 

Nasib sumber daya alam Aceh dalam kekuasaan Indonesia 
Penguasaan sumber daya alam Aceh ke tangan Negara Indonesia hanyalah sebuah pergantian imperium. Pembuatan kebijakan di tangan Negara hanyalah kebijakan berdasarkan politik birokrasi dan hampir seluruhnya dikendalikan oleh pelaku-pelaku Negara. Rakyat Aceh menjadi sangat tidak berdaya secara politis, sistem legeslatif dan yudikatif juga tidak berfungsi.


Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dijadikan dasar hukum kebijakan pengelolaan sumber daya alam, yang merumuskan bahwa Negara memiliki hak mutlak untuk mengendalikan seluruh sumber daya nasional, termasuk Aceh. Di sektor kehutanan, dasar hukum utama adalah Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5/1967, sebagai tindak lanjut untuk merinci lebih jauh kedaulatan Negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan telah mengatur berbagai kebijakan di sector kehutanan. Memberi mandat kepada pemerintah untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan pengaturan pemanfaatan hutan di dalam lingkup kewenangannya.


Kewenangan resmi Pemerintah Indonesia untuk menguasai lahan tidak bertuan, termasuk hutan masyarakat tradisional, serta mengalokasikan hak pengusahaan kepada perusahaan swasta atau memanfaatkan lahan untuk kepentingan lainnya, telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih hak pemanfaatan serta akses antara hutan adat dan hutan negara. Kemarahan dan konflik serius antara berbagai pengguna hutan di Aceh pun terjadi selama puluhan tahun, terutama konflik antara HPH dan perusahaan yang didukung Negara dengan masyarakat setempat.


Falsafah yang terkandung dalam UUPK 1967 tidak berbeda secara signifikan dengan Undang-undang Kehutanan Kolonial pada tahun 1865. Pada masa colonial, dinas kehutanan berusaha mengendalikan dan mengeksploitasi hutan di luar Jawa secara terpusat melalui peraturan kehutanan yang seragam. Ahli kehutanan dilatih dan memandang rendah cara pengelolaan sumber daya yang berbeda yang dilakukan oleh institusi lain dan tidak dapat menerima gagasan tentang pengelolaan hutan yang bersifat lebih rasional.


Maka tidaklah mengherankan jika asumsi pemerintah tentang masalah pengelolaan hutan di Aceh berasal dari pengalaman yang diperoleh di Jawa. UUPK 1967 merupakan puncak upaya intensif pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengelolaan hutan yang seragam di Jawa dan luar Jawa. Dengan Undang-undang ini, penguasaan hutan oleh Negara secara sentralistik, yang dilembagakan Belanda di Jawa selama pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, juga diterapkan di Aceh.


Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1960-an sampai pertengahan 1980-an memperkuat monopoli atas peguasaan hutan, membangun sikap kebencian dan permusuhan terhadap praktek-praktek kehutanan local, menciptakan kerangka kelembagaan yang secara sistematis menghapus system pengelolaan local dari diskursus kehutanan formal.


Pelecehan dan permusuhan secara resmi terhadap praktek-praktek pengelolaan sumber daya hutan dan cara hidup masyarakat di dalam dan sekitar hutan itu pun dituangkan di dalam formal kebijakan. Instrumen-instrumen kebijakan ditetapkan untuk merefleksikan penolakan total pemerintah terhadap akses masyarakat local pada hutan. Perladangan berpindah dianggap tidak produktif secara ekonomi serta merusak secara ekologis. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dinilai terbelakang dan karenanya perlu diintegrasikan ke dalam masyarakat umum. Sikap ini secara nyata diwarisi dari kolonial Belanda.


Pengendalian secara ketat terhadap sistem perladangan berpindah ini merupakan tujuan utama rencana pembangunan lima tahun pertama imperium Soeharto (1968-1974) dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Ideologi yang cendrung negatif dan bermusuhan terhadap masyarakat penghuni hutan menghasilkan seperangkat kebijakan yang berusaha menjauhkan kelompok masyarakat ini dari hutan atau bertujuan mengubah praktek-prakek adat mereka dalam pengelolaan hutan menjadi cara hidup yang sesuai dengan keinginan pembuat kebijakan pada masa itu.


Pembatasan akses petani pada hutan semakin dipertegas dengan pelarangan secara bertahap penebangan kayu skala kecil dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu. Untuk menentukan kriteria dan mekanisme administrasi untuk pengusahaan hutan baik skala besar maupun kecil, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/1970; izin usaha skala besar (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) dikeluarkan oleh pemerintah pusat, sedangkan izin eksploitasi skala yang lebih kecil (Hak Pemungutan Hasil Hutan atau HPHH) dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Pada sistem HPHH, perorangan dan pengusahan setempat diperbolehkan memungut hasil hutan secara manual baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk pasar lokal (tidak untuk ekspor), namun peraturan yang sama juga membekukan akses masyarakat adat pada sumber daya di kawasan HPH.


Pemerintah pada masa itu, masih merefleksikan maksud jahatnya terhadap masyarakat lokal. HPHH ternyata tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan karena mereka tidak memahami prosedur birokrasi yang berbasis perkotaan dan juga tidak mempunyai modal untuk memulai; keuntungan terutama masih saja dipetik oleh sekelompok orang kaya raya di kota yang notabene dekat dengan pihak pemerintah. Kebijakan utama imperium Soeharto untuk mengubah dan mengatur hubungan antara hutan dan masyarakat terlihat dalam sebuah instrumen yang dinamai dengan program pemukiman kembali serta program pertanian menetap, yang dikombinasikan dengan pembatasan akses pada hutan secara paksa. PP No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan serta kemudian PP No. 28/1985 tentang Perlindungan Hutan secara spesifik melarang akses masyarakat lokal pada hutan adat di dalam kawasan konsesi dan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah.


Gesekan antara pemerintah dan masyarakat pun mulai sering terjadi, yang dipicu oleh sikap pemerintah yang menganggap pemanfaatan sumber daya hutan oleh penduduk desa sebagai tindakan kriminal. Insiden-insiden antara masyarakat setempat dengan kepentingan bisnis kayu hutan yang didukung oleh pemerintah terjadi secara luas. Ketika berbagai insiden tersebut meluas menjadi tindakan kekerasan, pemerintah seringkali menggunakan kekuatan serdadu militer untuk menanggulanginya.


Selanjutnya, pada pertengahan 1980an sampai 1997, program penghutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.


Karena berbagai desakan yang dibangun oleh berbagai komponen dan koalisi masyarakat sipil, pada tahun 1998 sampai sekarang, mulai terjadi titik tolak perubahan kebijakan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mulai dimasukkan ke dalam kerangka kerja kehutanan yang sah, walaupun sistem lokal ini masih berada dibawah sistem kehutanan pemerintah.


Masa depan hutan Aceh memasuki tahun-tahun moratorium logging sejak diinstruksikannya pada tahun 2007 yang lalu oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf masih sarat dengan masalah. Aceh memang sedang ditakdirkan melewati masa transisi yang sulit. Namun masih disayangkan, bahwa sejumlah Hak Guna Usaha (HGU) sekarang kembali di izinkan oleh pejabat Pemerintahan Aceh. Sekali lagi, izin HGU ini hanya mampu dimiliki oleh sekelompok orang yang kaya raya. HGU masih tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan karena masyarakat kecil tidak memahami prosedur birokrasi yang berbelit dan mahal. Pak tani kita tetap saja tidak mempunyai modal untuk memulai. 

Eksploitasi sumber daya alam Aceh oleh Exxon Mobil
Kehadiran Exxon mobil sejak tahun 1968 ternyata hanya melahirkan ketimpangan ekonomi dan sosial, Meski pun perusahaan ini dapat mengeksploitasi gas alam hingga mencapai 3,4 juta ton per tahunnya, tetapi realitas ekonomi penduduk di sekitar mega industri itu masih tunggang langgang.


Exxon Mobil sejak hadir di Aceh sampai dengan sekarang masih menyisakan kontroversi. Menurut kesaksian masyarakat, tanah dirampas tanpa kompensasi yang cukup, operasi perusahaan menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan, dan,walaupun ada penyerapan tenaga kerja yang terkait dengan pembangunan awal, operasi perusahaaan gas ini telah gagal menurunkan angka kemiskinan yang berada di wilayah sekitarnya. Di atas semua itu, Exxon Mobil dan PT Arun, melalui hubungan mereka dengan TNI, tetap tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan dalam konflik yang melanda Aceh sejak tahun 1970an.(Sumber:Lesley McCulloch, “Greed: The Silent Force of the Conflict in Aceh,” paper tidak diterbitkan, Deakin University, Melbourne, Australia (Oktober 2003), 4,http://www.preventconflict.org/portal/main/greed.pdf.).

Penutup 
 Di dalam sejarahnya, sumber daya alam Aceh kaya akan material-material bernilai tinggi dan menjadi perebutan banyak pihak, baik Negara melalui kebijakan formalnya, maupun perusahaan-perusaan asing melalui investasinya. Namun penguasaan yang menjajah oleh Negara melalui aturan-aturan formal yang tidak memihak kepada masyarakat penghuni sekitar sumber daya alam tersebut telah memunculkan berbagai persoalan sosial, ini menjadi sejarah buruk rakyat Aceh dari masa ke masa dimana meluasnya bentuk-bentuk kemiskinan massif yang ditandai oleh kelaparan di tengah kemewahan, putus sekolah massal di tengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal di tengah gaya hidup royal kaum pemodal.


Sejarah Aceh juga mencatat bahwa, terdapat penguasaan tanah yang luas oleh serdadu di era konflik. Beberapa kasus, seperti tanah masyarakat desa Mane, Aceh Pidie, yang berubah menjadi kompi Senapan, merupakan sebagian kecil konflik terbuka yang pada saat kejadiaannya dapat ditekan secara efektif melalui kekerasan. Rakyat kehilangan sarana produksi mereka yang paling penting, yaitu tanah.


Sebagian besar konflik tanah hutan yang lain terpaksa terpendam bagai bom waktu, seperti kasus penyerobotan tanah Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan di Seulawah, Aceh Besar, untuk membangun Markas Komando Brimob, yang titik letusnya menunggu melonggarnya cengkraman dan tekanan penguasa yang tengah berlaku. Rakyat Aceh sedang menunggu pengadilan sejarah atas sumber daya alam mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar