Selasa, 18 September 2012

Kapan selesai kereta api melalui aceh


Kereta Api Aceh, 120 Tahun Lagi?


TERKURUNG di dalam pagar kawat besi, dua gerbong kereta api itu berkilat-kilat diterpa cahaya matahari. Tampilannya mentereng. Bodinya mulus. Warnanya biru dipadu putih dan garis oranye di bagian samping.
Sempat ditempatkan di Krueng Geukueh, gerbong kereta yang diproduksi oleh PT INKA saat ini digudangkan di Kompleks Stasiun Kereta Api di Desa Ulee Madon, Bungkah, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Sejak tiba di pelabuhan Krueng Geukueh, Desember 2008 lalu, kereta api seharga Rp 19,5 miliar itu baru sekali keluar kandang, yaitu saat uji coba pertengahan tahun lalu. Setelah itu, kereta pun kembali masuk gudang.
Ketika didatangi wartawan The Atjeh Times Senin lalu, kompleks stasiun kereta itu terlihat sepi. Belakangan, seorang pria turun dari dalam gerbong kereta. Rupanya, ia dan seorang temannya tertidur di dalam gerbong.
Melongok ke dalam, kursi fiber warna biru dipasang saling berhadapan di sisi kiri dan kanan kereta. Di langit-langit, tali tempat pegangan penumpang sudah luluh. Saat The Atjeh Times memegang alat pegangan itu, talinya langsung terputus, lalu pecah jadi serbuk saat dipencet dengan jari.
“Memang tali alat pegangan itu sudah tidak bagus, mungkin karena sudah lama tak terpakai,” kata seorang petugas jaga. Lalu, ia menunjukkan sejumlah alat pegangan yang talinya sudah copot.
Ini bukan kereta api biasa. Meski dibuat oleh PT Industri Kereta Api (INKA) di Madiun, Jawa Timur, mesin diesel dan remnya dipesan khusus dari Jerman, Prancis, dan Singapura. Berkapasitas 64 kursi dan memuat 200 penumpang berdiri, kereta itu jenis KRDI, Kereta Rel Diesel Indonesia. Dari namanya dapat ditebak, kereta itu digerakkan mesin diesel. Kereta jenis ini biasanya melayani rute jarak pendek, sekitar 20 hingga 30 kilometer dengan kecepatan maksimum 120 kilometer per jam.
Setiap gerbong punya empat pintu, termasuk ruang masinis. Pada tiap-tiap gerbong tertulis “KRDI-3 08209” dan “KRDI-3 08210”. Di dinding bagian dalam ada tulisan “Kelas-3, 64 Penumpang”.
“Dua gerbong kereta api ini sudah pernah dilakukan uji coba tahun 2011 lalu, dari stasiun ini (Bungkah) ke Stasiun Cot Seurani (Kecamatan Muara Batu), ” kata seorang petugas jaga.
Hasanun, 21 tahun, warga Desa Ulee Madon, mengatakan ada sekitar 20 warga--sebagian besar bocah hingga anak muda--naik kereta api itu saat uji coba tahun lalu.
“Dua kali uji coba, saya sempat takut saat naik kereta api itu, bergetar hebat, mungkin karena relnya belum begitu kuat,” kata Hasanun saat ditemui di seputaran stasiun kereta api itu.
Kabar yang didengar petugas jaga ini, gerbong kereta api tersebut dalam waktu dekat bakal dioperasionalkan dengan memanfaatkan jalur rel yang sudah rampung dari Kecamatan Muara Batu ke Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
***
Pembelian dua gerbong kereta api itu berawal dari sebuah mimpi menghidupkan kembali kereta api Aceh setelah ‘mati suri’ sejak 1982. Dicanangkan pada masa Presiden BJ Habibie tahun 2009, proyek itu sempat terhadang perang. Pascatsunami dan perjanjian damai, ide itu hidup lagi: membangunkan kereta api Aceh dari tidurnya.
Pada 2002, dibuatlah rencana umum pengembangan Kereta Api Sumatera Railway Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh-Medan dianggap sebagai solusi transportasi massal dan murah. Program ini disiapkan pemerintah dengan bantuan konsultan asing Mott McDonald dan SNCF Internasional.
Dua tahun berselang, pemerintah pusat melalui Menteri Perhubungan mengumumkan detail pembangunan kembali rel kereta api yang menghubungkan Aceh-Medan. Panjangnya diperkirakan 450 kilometer. Jalur ini akan dibangun 5 tahapan: Langsa-Besitang (50,60 kilometer), Langsa-Lhokseumawe (150,60 kilometer), Bireuen-Sigli (100,77 kilometer), dan Sigli-Banda Aceh (93,027 kilometer). Total anggaran yang dibutuhkan Rp 7,1 triliun.
Tahun 2007, sempat terhenti setelah tsunami, pembangunan rel kereta api kembali dilakukan di Lhokseumawe dan Aceh Utara. Perencanaan diubah. Panjang rel yang harus dibangun menjadi 586 kilometer. Kebutuhan biaya membengkak menjadi 12 triliun (baca: Jalan Panjang Kereta Api Aceh).
Pada awal 2009, Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Yuwaldi Away, sudah menjanjikan kereta segera berderak. “Target saya, untuk tahap pertama, rute Cunda-Simpang Mane, Aceh Utara, sudah bisa beroperasi,” kata Yuwaldi ketika itu.
Dua tahun tanpa kabar, pada Februari 2011, berembus kabar baik. Yuwaldi menjanjikan kereta akan beroperasi di rute Krueng Mane-Lhokseumawe dengan jarak tempuh 14 kilometer. Namun, hingga Senin pekan ini, kereta hanya parkir di gudang.
The Atjeh Times mencoba mengontak Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Yuwaldi Away, untuk mengonfirmasi kembali nasib proyek kereta api. Namun, kata seorang stafnya, ia sedang di Bali.
Pantauan The Atjeh Times, rel kereta api yang dibangun dengan dana ratusan miliar itu nasibnya tak jelas. Untuk rute Lhokseumawe-Krueng Geukueh kondisi rel kereta api yang terlihat terawat lumayan baik hanya ada di kawasan Blang Nalueng Mameh, Muara Satu, Lhokseumawe.
Adapun di kawasan lain, seperti Batuphat Barat-Batuphat Timur, Muara Satu, rel kereta api berjarak beberapa jengkal dari rumah warga.
Di Desa Paloh, Muara Satu, tepatnya di luar pagar kompleks kilang LNG Arun, beberapa meter dari Jalan Banda Aceh-Medan, rel kereta api tertutup tumpukan potongan kayu. Ada juga bangunan kecil di atas rel tersebut. Pemandangan hampir sama juga ada di Simpang Jembatan Loskala.
Di kawasan Batuphat Barat-Batuphat Timur, Muara Satu, rel kereta api yang berjarak beberapajengkal dari deretan rumah warga sudah tertimbun tumpukan tanah.
Lalu, di kawasan Desa Paloh, Muara Satu, tepatnya di luar pagar kompleks kilang LNG Arun, beberapa meter dari Jalan Banda Aceh-Medan, rel kereta api tertutup tumpukan potongan kayu. Juga ada bangunan kecil di atas rel tersebut.
Pemandangan hampir sama di Simpang Jembatan Loskala. Ada beberapa warung yang didirikan oleh warga di atas rel kereta api. “Kereta apinya tidak jelas kapan akan melintas, makanya badan rel dipakai sementara untuk warung,” kata Hasan, warga di sekitar lokasi itu.
Di kawasan Desa Panggoi, Muara Dua, balok rel kereta api juga sudah tertimbun tanah di banyak titik. Selain itu, juga tertutup semak-semak. Begitu pula yang tampak pada rel di kawasan Meunasah Mesjid, Muara Dua.
Kondisi itulah yang menimbulkan rasa pesimis warga. Bustamam, seorang supir truk trayek Banda Aceh-Medan, tak yakin proyek itu dapat segera rampung. “Ini seperti pungguk merindukan bulan. Kami menganggap ini pura-pura,” ujarnya.
Rasa pesimis Bustamam masuk akal. Hitung saja, jika total anggaran yang dibutuhkan adalah Rp12 triliun, dan rata-rata anggaran yang dikucurkan per tahun katakanlah Rp 100 miliar, waktu yang diperlukan: 120 tahun!
Awalnya, sempat muncul skema pembiayaan begini: sebagian dibiayai APBN, sebagian lagi dari investor luar negeri. Namun, rencana itu tak terwujud. Bahkan, perusahaan perkeretaapian Perancis yang sempat datang ke Aceh setelah bencana tsunami dan menyodorkan proposal bantuan, belakangan undur diri.
“Yang tanya-tanya banyak, tapi tidak ada yang jadi,” kata Yuwaldi beberapa waktu lalu.
Di Muara Batu, Bustamam masih tak habis pikir,”Kalau relnya belum jelas, kenapa pula kereta duluan dipesan?”| YUSWARDI A.S | IRMAN I.P (Lhokseumawe)

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar