BISNISACEH - Saya agak terperangah mendengar pandangan Brad Sugars tentang masa depan kewirausahaan alias entrepreneurship di Indonesia. Bangsa Indonesia, menurut dia, akan menjadi bangsa pengusaha. Oh iya, bagi yang belum mengenalnya, Brad Sugars adalah pendiri Action-Coach yang kini diklaim sebagai penyelenggara business coach nomor satu dunia.
Berkat ketekunan dan kegigihannya mengembangkan Action-Coach itu, pria dandy kelahiran Brisbane, Australia 41 tahun lalu itu kini menjadi salah seorang motivator bisnis yang masuk kelas miliarder, memiliki cabang di 49 negara, dengan jumlah kantor sedikitnya 1.000 buah, dan menggelar 15.000 pelatihan bisnis setiap minggu di seluruh dunia. Ketika bulan lalu menyempatkan mampir ke kantor Bisnis Indonesia, Brad menyatakan sangat optimistis bahwa Indonesia tidak lama lagi akan menjadi negara penghasil entrepreneurs yang disegani di dunia.
“Masa iya sih.. Kok banyak orang bilang bahwa Indonesia masih memerlukan belasan atau bahkan puluhan tahun untuk mengejar ketertinggalannya dalam memenuhi kuota sebagai negara dengan jumlah wirausahawan selayaknya negara yang sudah mentas keentrepreneurshipannya,” saya membatin, karena tidak ingin menyangkal optimismenya tersebut.
“Saya melihat gairah orang-orang untuk berbisnis di Indonesia ini sungguh luar biasa... Jangan anggap enteng mereka yang cuma jualan di pinggir jalan, karena mereka sebenarnya sudah melakukan langkah berani untuk menjadi pengusaha... They’re the real entrepreneurs... Kalau mereka memperoleh kesempatan, saya yakin banyak di antara mereka akan menjadi pengusaha sesungguhnya,” ujar Brad mantap.
“Apa yang mendasari pemikiran Anda bahwa iklim kewirausahaan akan hidup di negeri kami ini. Kalau hanya dari indikator yang Anda sebutkan tadi, rasanya sih terlalu buru-buru untuk mengambil kesimpulan tersebut,” saya mencoba menyanggah.
“Pemerintah Anda saya lihat sangat serius mengembangkan program kewirausahaan.. Itu terbukti dari keberadaan kementerian yang khusus menangani urusan entrepreneurship.. Di banyak negara malah tidak memilikinya lho.. Selain itu, saya lihat juga banyak lembaga pendidikan kewirausahaan. Itu bagus,” ucap Brad dengan mimik serius.
Tertinggal jauh
Ekspresi kekaguman Brad ini memang tidak dibuat-buat, dan dia menyatakannya secara apa adanya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan fenomena yang terjadi selama ini, karena banyak yang menilai Indonesia sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia dan Thailand yang masing-masing 4% dan 4,1% warganya berkecimpung sebagai pengusaha.
Apalagi dibandingkan dengan Singapura, China, dan Jepang yang kabarnya memiliki tidak kurang dari 8% penduduknya menjadi entrepreneurs. Sedangkan di Indonesia, konon, baru mencapai 1,56% itu dianggap sebagai belum apa-apa.
Dari pengalaman mengunjungi berbagai kota dan/atau wilayah di Indonesia, selama lebih dari 20 tahun berkarir sebagai wartawan, saya merasakan pembenaran terhadap apa yang diyakini Brad Sugars tadi. Lha buktinya, tidak di kota maupun di desa, kini semakin banyak anggota masyarakat yang membuka usaha, baik yang berskala individu, warung, hingga toko kelontong maupun rumah makan yang beraneka macam jenis dan menunya itu. Tidak jarang kehadiran para ‘pengusaha’ ini menimbulkan dampak berupa kekumuhan kota, karena mereka berjualan asal-asalan, termasuk yang model amigos alias agak minggir got sedikit. Tapi keberanian mereka ini merupakan pengejawantahan dari sikap wira usaha.
Karena dari usaha itulah, mereka dapat mengandalkannya sebagai modal untuk menjalani kehidupan. Mengenai besar-kecilnya skala usaha, saya kira tidaklah terlalu penting, karena hal itu relatif. Siapa bilang bahwa hanya menjadi pengusaha kelas teri itu tidak bisa mencukupi kehidupan sehari-hari atau bahkan tidak bahagia hidupnya.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa jangan mengukur baju orang dengan badan sendiri. Kita tidak bisa mengukur tingkat kecukupan, kesejahteraan, atau bahkan kebahagiaan orang lain dengan standar kita masing-masing. Usaha kecil di negeri ini telah terbukti tahan banting ketika krisis moneter merebak belasan tahun silam. Tingkat ketahanan atawa resiliensi mereka sudah teruji.
Semangat untuk berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, inilah yang kini semakin menggelora di kalangan warga kebanyakan. Kita juga pantas bersyukur bahwa pilihan untuk menjadi entrepreneur ini kini mulai menjangkiti sebagian (besar) anak muda di negeri ini.
Sebagai juri di beberapa kompetisi start up companies, saya memang merasakan perbedaan nuansa di kalangan mahasiswa masa kini dibandingkan mahasiswa generasi 1980-an atau bahkan yang sebelumnya. Banyak di antara mereka kini berani menyatakan untuk menjadi pengusaha saja alih-alih mencari pekerjaan jika lulus nanti.
Tidak hanya itu, mereka juga semakin kreatif dalam berkarya. Hal itu tentu dipacu oleh lingkungan yang memang memungkinkan bagi mereka untuk memperoleh bahan pembelajaran, termasuk lika-liku maupun 1001 cara menjadi entrepreneur, mengingat kesemua pengetahuan tersebut kini tinggal memetiknya di media cyber, wa bil khusus, dari media sosial (Facebook, Twitter, dan sebagainya).
Jadi, kebangkitan entrepreneur di Indonesia ini, berdasarkan keyakinan Brad Sugars tadi, hanya masalah waktu saja. Kita akan menyaksikan semakin banyak entrepreneur baru mewarnai negeri ini, seiring dengan kebangkitan ekonomi Indonesia. Tentu saja pemerintah maupun berbagai lembaga yang berkepentingan tidak boleh hanya berpangku tangan. Songsonglah mereka...
editor : Saiful