Kamis, 01 November 2012

Sejarah Perang Aceh


Sejarah Perang Aceh (1873-1904)


Peucut Kherkof; makam serdadu militer Belanda yang tewas dalam pertempuran melawan masyarakat Aceh. Kata Kherkof sendiri berasal dari bahasa Belanda yang artinya kuburan. Makam ini terletak di Kota Banda Aceh, Aceh, persis disamping Museum Tsunami Aceh. Kurang lebih sekitar 2200 serdadu Belanda termasuk empat jenderal Belanda yang tewas dalam Perang Aceh (1873-1904) dimakamkan di lahan sekitar tiga hektar ini. (http://kopi234.blogspot.com/al3)
Banda Aceh – Sampai abad 19 Aceh merupakan daerah yang berdaulat dan dihormati oleh dua imperialis di Indonesia dan sekitarnya yaitu Inggris dan Belanda. Berdasarkan Traktat/perjanjian London 1824 maka Aceh dijadikan daerah penyangga (Bufferstate) antara kekuasaan Inggris di Malaka dengan Bengkulu yang diserahkan Inggris kepada Belanda.
Keadaan tersebut tidak dapat bertahan lama karena adanya kepentingan Belanda yang berniat menduduki Aceh sehingga timbullah perlawanan rakyat Aceh.
Sebab-sebab Perang Aceh
  • Belanda merasa berhak atas daerah Sumatra Timur yang diperoleh dari Sultan Siak sebagai upah membantu Sultan dalam perang saudara melalui Traktat Siak tahun 1858, sementara Aceh berpendapat daerah terebut merupakan wilayahnya.
  • Sejak Terusan Suez dibuka tahun 1869 perairan Aceh menjadi sangat penting sebagai jalur pelayaran dari Eropa ke Asia.
  • Keluarnya Traktat Sumatra tahun 1871 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan menghalangi usaha Belanda untuk meluaskan daerah kekusaannya sampai di Aceh dalam rangka Pax Netherlandica. Traktat Sumatra yang mengancam kedaulatannya? Aceh berusaha untuk mencari bantuan dengan mengirim utusan ke Turki. Selain itu juga dijalin hubungan ke perwakilan negara Amerika Serikat dan Italia di Singapura. Tindakan Aceh ini mencemaskan Belanda lalu menuntut Aceh agar mengakui kedautalan Belanda. Aceh menolak tututan tersebut sehingga Belanda melakukan penyerangan.
Sifat perlawanan Aceh ada dua macam yaitu politik dan keagamaan. Perlawanan politik bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Perlawanan politik dipimpin oleh para bangsawan yang bergelar Teuku.
Tokoh-tokoh bangsawan itu  antara lain Teuku Umar dan isterinya bernama Cut Nyak Dien, Panglima Polim, Sultan Dawutsyah, Teuku Imam Lueng Batta. Perang juga bersifat keagamaan yaitu menolak kedatangan Belanda yang akan menyebarkan agama kristen di Aceh. Tokoh keagamaan adalah para ulama yang bergelar Teungku contoh Teungku Cik Di Tiro. Golongan ulama tidak mudah menyerah dan kompromi terhadap Belanda.
Jalan perang
  • Pada bulan April tahun 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral JHR Kohler menyerang Aceh namun gagal bahkan Jendral Kohler tewas dalam pertempuran memperebutkan masjid Raya.
  • Pada bulan Desember 1873 pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Jendral Van Swieten dapat menduduki istana serta memproklamirkan bahwa kejaraan Aceh sudah takluk. Nama Banda Aceh kemudian diganti kota raja. Apakah Aceh benar-benar sudah takluk kepada Belanda? Ternyata tidak demikian. Raja Aceh yaitu Sultan Mahmudsyah wafat karena sakit. Putranya yang bernama Muhammad Dawotsyah menjalankan pemerintahan di Pagar Aye. Rakyat Aceh tetap melanjutkan perlawanan dipimpin oleh Panglima Polim.
  • Fase berikutnya sejak tahun 1884 Belanda mempertahankan kekuasaan hanya di daerah yang didudukinya saja. Disitu dibentuk pemerintahan sipil. Sistem ini disebut Konsentrasi Stelsel.
Pada tahun 1893 Teuku Umar melakukan siasat menyerah kepada Belanda dan memperoleh kepercayaan memimpin 250 orang pasukan bersenjata lengkap lalu diberi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Apakah tindakan Teuku Umar merupakan penghianaatan bagi bangsanya ? Ternyata siasat itu hanya untuk mendapatkan senjata yang cukup guna menghadapi Belanda berikutnya.  Belanda cukup sulit menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Guna mengetahui sistem sosial serta rahasia keuletan rakyat Aceh maka dikirimlah Dr. Snouck Hurgronye seorang ahli dalam agama islam untuk menyelidiki hal itu.Hasil penyelidikannya dibukukan dengan judul “De Atjehers” menurut Hurgronye ada dua cara untuk menundukkan Aceh yaitu melakukan pendekatan kepada para bangsawan dan mengangkat putra-putra mereka menjadi pamong praja pada pemerintah Belanda. Kaum ulama harus dihadapi dengan kekuatan senjata sampai menyerah.
Sejak 1896. Belanda bertekad menyelesaikan perang dengan mengirim pasukan marsose (polisi militer) dengan panglimanya Letnan Kolonel Van Geuts. Dalam pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899 Teuku Umar gugur. Perlawanan masih berlanjut sampai akhirnya bulan Januari 1903 Sultan Dawutsyah menyerah, September 1903 Panglima Polim juga menyerah.
Ternyata hal itu karena kelicikan Belanda yaitu mengultimatum Sultan untuk menyerah setelah menangkap isteri dan anak-anaknya. Belanda masih melanjutkan pembersihan terhadap daerah yang terakhir bergolak yaitu Gayo Alas (Aceh Tenggara) dipimpin oleh Letkon Van Daalen tahun 1904, rakyat yang gugur 2922 orang. Perlawanan Cut Nyak Dien masih berlanjut selama 5 tahun. Ia memimpin pasukan keluar masuk hutan rimba dengan tekad rela mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan bangsanya serta mengusir Belanda. Perlawanan Cut Nyak Dien berakhir tahun 1905. Ia ditangkap dan dibuang ke Cianjur lalu Sumedang hingga wafat 6 Nopembeer 1908, sedangkan Cut Meutia gugur tahun 1910. (al3)  

Rabu, 31 Oktober 2012

Sejarah singkat Aceh dan Bahasa Aceh


Semua orang kenal Aceh. Provinsi yang terletak di ujung Pulau Sumatera ini sangat dikenal dengan adat istiadat dan kekayaan alamnya. Konon katanya provinsi ini pun dikenal sebagai provinsi yang masyarakatnya sangat taat beribadah. Benarkah itu? Silakan Anda teliti sendiri!
Sebenarnya banyak hal yang belum diketahui dari Aceh. Provinsi ini seolah menyimpan misteri yang tampaknya tak akan habis diungkap sampai dengan akhir zaman nanti. Banyak orang ingin menyingkap misteri tentang Aceh. Bukan hanya masyarakat Aceh itu sendiri, melainkan juga masyarakat luar Aceh. Mereka tampaknya sangat tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Aceh. Bukti dari ketertarikan mereka tentang Aceh adalah adanya semacam usaha untuk mengungkap misteri-misteri tentang Aceh itu.
Salah satu misteri yang tampaknya belum terpecahkan sampai dengan sekarang adalah perihal asal mula nama Aceh. Konon katanya nama Aceh merupakan singkatan dari Arab, Cina, Endia (India), Hindia Belanda. Akan tetapi, singkatan-singkatan ini tampaknya tidak memiliki sumber yang jelas.
Sebenarnya berkaitan dengan nama Aceh ini banyak ahli yang telah melakukan penelitian. Salah satu ahli yang tertarik meneliti tentang Aceh adalah Denis Lombard.
Berkaitan dengan nama Aceh, Lombard menyebutkan bahwa nama Aceh baru disebut dengan pasti sekali dalam Suma Oriental yang dikarang di Malaka sekitar tahun 1950 oleh Tomé Pires yang berkebangsaan Portugis. Lombard selanjutnya mengatakan bahwa kata Aceh dieja Achei. Beberapa tahun kemudian, dalam buku yang ditulis oleh Barros yang berjudul Da Asia disebutkan bahwa pengejaan kata Aceh dengan Acheitelah mengalami perubahan yang berbentuk adanya penyengauan bunyi pada akhir kata, yaitu Achem. Penyengauan bunyi ini juga terdapat dalam naskah-naskah Eropa abad 16, 17, dan 18. Di dalam naskah-naskah Eropa pada abad-abad ini kata Acehdieja Achin dan Atchin.
Dalam sistem transkripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, kata Aceh ditulisAcih. Lombard mengungkapkan bahwa penulisan kata Aceh dengan Acih adalah penulisan yang sangat tepat jika ditinjau secara ilmiah. Dalam hal ini, Lombard memberikan alasan sebagai berikut.
Sesuai dengan sistem tranksripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.C. Damais, penulisan kata Acehlebih tepat ditulis Acih. Tulisan ini memang yang paling baik mengungkapkan ucapannya dewasa ini. Setiap fonem dicatat dengan satu huruf saja, dan huruf lebih baik daripada huruf untuk mencatat huruf hidup kedua yang ucapannya sangat mendekati /i/….
Selanjutnya, sekitar akhir abad ke-19, menjelang peperangan yang bakal menumpahkan darah di seluruh bagian utara Sumatra, nama tanah Aceh dipakai untuk menunjukkan seluruh daerah yag membentang dari ujung utara pulau itu sampai dengan suatu garis khayal yang menghubungkan Tamiang di pantai Timur dengan Barus di Pantai Barat. Menurut Snouck Hurgronje, penduduknya membandingkan bentuk wilayah mereka yang kira-kira menyerupai segi tiga itu dengan bentuk jeuèe(tampah tradisional).
Selain misteri tentang nama Aceh, provinsi ini juga juga masih menyimpan misteri perihal asal mula bahasa Aceh. Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian. Hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa Campa yang sampai sekarang masih digunakan di Vietnam, Kamboja, dan Hainan di Cina. Adanya hubungan bahasa Aceh dengan bahasa-bahasa Campa yang ada di Vietnam, Kamboja, dan Hainan di Cina tampaknya cukup beralasan. Berdasarkan catatan sejarah, seorang pangeran dari Campa, Šah Pu Liaŋ (liŋ) diusir dari ibukotanya oleh bangsa Vietnam. Ia lalu mencari perlindungan di Aceh, lalu membentuk wangsa baru (Lombard, 2007:62). Tentu saja pembentukan wangsa baru ini sangat berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Aceh sebagai alat komunikasi mereka.
Ada juga para ahli yang menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, seperti bahasa Arab, Melayu, Indonesia, Sanskrit, Persia, Tamil, Belanda, Portugis, Inggris dan dari bahasa Mon-Khmer di Asia Tenggara.
Penjelasan di atas membuktikan bahwa Aceh sebetulnya sejak dulu telah memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa luar. Hal ini tentu saja tak dapat dipungkiri apalagi jika kita mengingat Aceh yang pada masa Sultan Iskandar Muda pernah mencapai puncak kejayaannya.

Selasa, 30 Oktober 2012

Wisata Pidie

Tangse adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie, Kota yang mempunyai panorama alam yang sangat indah terletak dilintasan Pidie - Meulaboeh, ketika lintasan Banda Aceh - Meulaboh Rusak total akibat Tsunami jalan ini menjadi jalan penghubung terdekat untuk menuju Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan. Selain pemandangannya yang indah, Tangse juga sangat terkenal dengan duriannya, pada musim panen durian, banyak durian dari daerah lain yang dibawa ke Banda Aceh memakai nama "Durian Tangse". Bagi anda pecinta durian dan panorama alam yang asri dan indah, Tangse adalah salah kota yang wajib Anda Singgahi.

Di Kecamatan Tangse beberapa objek wisata akan anda temui, diantaranya adalah Air terjun dan Sumber Air Panas. Kota Tangse memang memiliki banyak objek wisata alam yang kalau dibenah akan menjadi sumber penghasilan daerah yang cukup besar. Berikut beberapa objek Wisata yang terdapat di Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie.

1. Air Terjun

Air Terjun Tangse ini letaknya persis di lintasan Sigli - Meulaboeh, tepatnya di gampoeng Meuriya Kecamatan Tangse, membuat objek wisata ini terkenal sampai ke Meulaboeh - Aceh Barat. Namun sayangnya pengunjung yang datang kesini hanya menikmati pemandangan air terjun saja, karena tidak adanya sarana penunjang lain ditempat ini.
 

2. Krueng Geunei

Krueng (sungai) Geunei adalah sungai berbatu di kaki gunung, kalo anda pernah berkunjung ke Batee Iliek maka sungai Geunei pun hanpir sama dengan Bate Iliek namun Krueng Geunei mempunya pemandangan alam yang masih sangat Asri dan letaknya jauh dari kebisingan jalan, sehingga membuat suasana liburan anda makin berkesan.


3. Air Panas Pulo Seunong
Sumber Air Panas ini letaknya di Desa Pulo Seunong Kec. Tangse, untuk menempuh lokasi pemandian air panas ini anda harus menyusuri persawahan yang lumayan jauh, namun dengan pemandangan alam dan udaranya yang segar saya yakin anda tidak akan merasa letih.


4. Arung Jeram


Ini khusus untuk anda yang mempunyai nyali, tidak dianjurkan untuk penderita lemah jantung tentunya, Arung Jeram di Kecamatan Tangse menyusuri sungai Geumpang yang berbatu dan mempunyai arus yang deras, jadi bagi yang belum pernah melakukannya harap bergabung bersama yang sudah ahli.
 

Masih banyak tempat² yang menarik unruk Anda kunjungi di Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie khususnya untuk anda yang mempunyai jiwa petualang dan pecinta Alam. Pemerintah Kabupaten Pidie pun hendaknya serius mengelola objek² wisata di Kec. Tangse. Disini juga masih terdapat Murai Batu yang bersuara merdu

Rabu, 17 Oktober 2012

tinggalkan kuliah demi menjadi miliuner

Tinggalkan kuliah demi menjadi miliuner

BISNIS ACEH
Senin, 15 Oktober 2012 20:42 WIB
Bong ChandraFOTO : bongchandra.co.idBong Chandra
JAKARTA - Usianya baru menginjak 25 tahun, tapi Bong Chandra sudah menjadi salah satu miliuner muda Indonesia. Ia memutuskan meninggalkan bangku kuliahnya dan menjadi pebisnis properti seperti saat ini.

Pria kelahiran 25 Oktober 1987 itu awalnya memilih tidak melanjutkan kuliahnya di Bina Nusantra dan membuka usaha event organizer. Pada usia 21 tahun, atau pertengahan 2009, Bong banting setir dari usaha event organizer dan beralih ke bisnis properti.

Dengan modal awal sebesar Rp500 juta per orang, Bong bersama dua temannya membeli tanah seluas lima hektar seharga Rp30 miliar di Ciledug. Modal Rp1,5 miliar digunakan sebagai tanda jadi pembelian tanah di Ciledug. Bong dan kedua temannya itu membeli tanah dengan cara mencicil dua tahun sambil mengembangkan tanah dengan membangun Ubud Village.

Dengan berbendara Trinity Property, Bong berhasil memasarkan 300 rumah dan 65 ruko di Ubud Village dengan berbagai cara marketing dalam setahun. Caranya antara lain mengkonsep perumahan berbeda, yaitu dengan nuansa Bali, dan membuat berbagai unit-unit ekslusif. Saat ini Ubud Village mempunyai nilai investasi sebesar Rp180 miliar.

"Cari nama untuk perumahan yang bagus dan memiliki konsep yang kuat. Setelah itu pecah jadi unit-unit kecil agar harganya bisa bersaing. Berikan program cicilan yang lebih panjang," kata Bong membocorkan sedikit rahasia suksesnya.
Bong juga menulis buku berjudul "Unlimited Wealth dan The Science of Luck." Selain itu Bong menjadi pembicara dalam seminar properti maupun motivasi. Berbagai perusahaan, termasuk perusahaan nomor 1 versi Fortune 500 tahun 2009 menggunakan jasanya sebagai motivator.

Saat ini Bong memimpin enam perusahaan. Ia tengah membangun hotel bintang lima di Jimbaran, Bali dengan nilai investasi Rp1 triliun. "Semua pencapaian dimulai dari nol bahkan utang. Ini membuktikan bahwa yang terpenting bukan siapa anda sekarang, tetapi ingin seperti apa anda besok," katanya.

Jumat, 21 September 2012

Anggota DPRK Pidie Terima 34 iPad






* Bersifat Pinjam Pakai
SIGLI - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRK) Pidie, Rabu (19/9), mendapatkan 34 unit iPad tablet apple. Barang elektronik serba guna itu dibeli menggunakan dana APBK 2012 bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU).

“Betul tahun ini kami membeli 34 unit iPad merk apple. Proses tender alat tersebut dilaksanakan pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Pidie sebagai panitia. Dan, Rabu (19/9) kemarin, iPad telah diterima masing-masing anggota DPRK Pidie,” kata Sekwan DPRK Pidie, Zainal Abidin SE MSi, didampingi Wakil DPRK Pidie, Ir Muhammad Ali, kepada Serambi, Kamis (19/9).

Ia menjelaskan, iPad yang dibagikan kepada 34 anggota dewan tersebut, statusnya sebagai pinjaman atau hak pakai. Karena ketika anggota dewan tersebut habis jabatannya, maka iPad tersebut harus dikembalikan kepada Pemkab. Sebab, iPad tersebut merupakan asset daerah. Jika rusak pun harus dikembalikan. Begitu pun hilang harus diganti. “Saat penyerahan iPad kepada anggota dewan, kami membuat MoU terhadap masa pemakaiannya. Karena barang itu milik daerah,” kata Zainal Abidin yang juga mantan Sekretaris Dinas BMCK Pidie itu.

Ditanya kenapa pengadaan iPad kepada dewan hanya 34 unit sementara jumlah anggota DPRK Pidie 45 orang. Kata Zainal, sebagian anggota dewan telah dapat laptop pengadaan APBK tahun 2011. Laptop tersebut dibeli 11 unit yang statusnya juga pinjaman pakai. Artinya, kata Zainal, bagi anggota dewan yang telah menerima laptop tidak boleh mendapatkan iPad.

Wakil Ketua DPRK Pidie, Ir Muhammad Ali, kepada Serambi kemarin, mengatakan, tujuan dibelikannya iPad kepada anggota dewan, tak lain untuk mengakses aturan perundang-undangan saat menjalankan tugas membahas APBK dan menggodok qanun. Baik, undang-undang, peraturan pemerintah, pemendagri dan aturan lainnya. “Jadi aturan tidak bisa kita hafal. Jadi ketika adanya iPad kita dengan mudah bisa mengaksesnya sehingga mempercepat tugas dewan. Dan, barang itu pun statusnya hak pakai saja oleh dewan,” kata M Ali.(naz)

Pemborosan Keuangan Daerah

Koordinator Pidie Transparansi Anggaran (PiTA), Pidie, Ismail Von H Sabi, kepada Serambi Kamis (20/9) mengatakan, LSM PiTA menyayangkan adanya pembagian iPad kepada anggota DPRK Pidie. Terkesan legislatif telah mengabaikan kepentingan yang urgen di tengah masyarakat.

Kata Ismail, apakah dibaginya iPad tersebut menjadi kebutuhan anggota dewan. “Kami bukan anti terhadap pengadaan barang tersebut, akan tetapi ada kebutuhan lain yang lebih mendesak yang seharusnya mereka pikirkan seperti masih banyak ruas jalan rusak,” katanya.

Lanjut Ismail, yang dilakukan dewan saat ini ada lah pemborosan keuangan daerah ditengah terjadinya defisit anggaran. Sebab, dana untuk membeli peralatan kerja itu mencapai Rp 289 juta, jika ditotal jumlah iPad yang dibeli dengan harga Rp 8,5 juta/unit. Seharusnya dana tersebut, kata Ismail, bisa juga digunakan untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), yang selama ini jauh dari perhatian pemerintah ataupun untuk membangun sejumlah rumah duafa.(naz)

Selasa, 18 September 2012

Kapan selesai kereta api melalui aceh


Kereta Api Aceh, 120 Tahun Lagi?


TERKURUNG di dalam pagar kawat besi, dua gerbong kereta api itu berkilat-kilat diterpa cahaya matahari. Tampilannya mentereng. Bodinya mulus. Warnanya biru dipadu putih dan garis oranye di bagian samping.
Sempat ditempatkan di Krueng Geukueh, gerbong kereta yang diproduksi oleh PT INKA saat ini digudangkan di Kompleks Stasiun Kereta Api di Desa Ulee Madon, Bungkah, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Sejak tiba di pelabuhan Krueng Geukueh, Desember 2008 lalu, kereta api seharga Rp 19,5 miliar itu baru sekali keluar kandang, yaitu saat uji coba pertengahan tahun lalu. Setelah itu, kereta pun kembali masuk gudang.
Ketika didatangi wartawan The Atjeh Times Senin lalu, kompleks stasiun kereta itu terlihat sepi. Belakangan, seorang pria turun dari dalam gerbong kereta. Rupanya, ia dan seorang temannya tertidur di dalam gerbong.
Melongok ke dalam, kursi fiber warna biru dipasang saling berhadapan di sisi kiri dan kanan kereta. Di langit-langit, tali tempat pegangan penumpang sudah luluh. Saat The Atjeh Times memegang alat pegangan itu, talinya langsung terputus, lalu pecah jadi serbuk saat dipencet dengan jari.
“Memang tali alat pegangan itu sudah tidak bagus, mungkin karena sudah lama tak terpakai,” kata seorang petugas jaga. Lalu, ia menunjukkan sejumlah alat pegangan yang talinya sudah copot.
Ini bukan kereta api biasa. Meski dibuat oleh PT Industri Kereta Api (INKA) di Madiun, Jawa Timur, mesin diesel dan remnya dipesan khusus dari Jerman, Prancis, dan Singapura. Berkapasitas 64 kursi dan memuat 200 penumpang berdiri, kereta itu jenis KRDI, Kereta Rel Diesel Indonesia. Dari namanya dapat ditebak, kereta itu digerakkan mesin diesel. Kereta jenis ini biasanya melayani rute jarak pendek, sekitar 20 hingga 30 kilometer dengan kecepatan maksimum 120 kilometer per jam.
Setiap gerbong punya empat pintu, termasuk ruang masinis. Pada tiap-tiap gerbong tertulis “KRDI-3 08209” dan “KRDI-3 08210”. Di dinding bagian dalam ada tulisan “Kelas-3, 64 Penumpang”.
“Dua gerbong kereta api ini sudah pernah dilakukan uji coba tahun 2011 lalu, dari stasiun ini (Bungkah) ke Stasiun Cot Seurani (Kecamatan Muara Batu), ” kata seorang petugas jaga.
Hasanun, 21 tahun, warga Desa Ulee Madon, mengatakan ada sekitar 20 warga--sebagian besar bocah hingga anak muda--naik kereta api itu saat uji coba tahun lalu.
“Dua kali uji coba, saya sempat takut saat naik kereta api itu, bergetar hebat, mungkin karena relnya belum begitu kuat,” kata Hasanun saat ditemui di seputaran stasiun kereta api itu.
Kabar yang didengar petugas jaga ini, gerbong kereta api tersebut dalam waktu dekat bakal dioperasionalkan dengan memanfaatkan jalur rel yang sudah rampung dari Kecamatan Muara Batu ke Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
***
Pembelian dua gerbong kereta api itu berawal dari sebuah mimpi menghidupkan kembali kereta api Aceh setelah ‘mati suri’ sejak 1982. Dicanangkan pada masa Presiden BJ Habibie tahun 2009, proyek itu sempat terhadang perang. Pascatsunami dan perjanjian damai, ide itu hidup lagi: membangunkan kereta api Aceh dari tidurnya.
Pada 2002, dibuatlah rencana umum pengembangan Kereta Api Sumatera Railway Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh-Medan dianggap sebagai solusi transportasi massal dan murah. Program ini disiapkan pemerintah dengan bantuan konsultan asing Mott McDonald dan SNCF Internasional.
Dua tahun berselang, pemerintah pusat melalui Menteri Perhubungan mengumumkan detail pembangunan kembali rel kereta api yang menghubungkan Aceh-Medan. Panjangnya diperkirakan 450 kilometer. Jalur ini akan dibangun 5 tahapan: Langsa-Besitang (50,60 kilometer), Langsa-Lhokseumawe (150,60 kilometer), Bireuen-Sigli (100,77 kilometer), dan Sigli-Banda Aceh (93,027 kilometer). Total anggaran yang dibutuhkan Rp 7,1 triliun.
Tahun 2007, sempat terhenti setelah tsunami, pembangunan rel kereta api kembali dilakukan di Lhokseumawe dan Aceh Utara. Perencanaan diubah. Panjang rel yang harus dibangun menjadi 586 kilometer. Kebutuhan biaya membengkak menjadi 12 triliun (baca: Jalan Panjang Kereta Api Aceh).
Pada awal 2009, Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Yuwaldi Away, sudah menjanjikan kereta segera berderak. “Target saya, untuk tahap pertama, rute Cunda-Simpang Mane, Aceh Utara, sudah bisa beroperasi,” kata Yuwaldi ketika itu.
Dua tahun tanpa kabar, pada Februari 2011, berembus kabar baik. Yuwaldi menjanjikan kereta akan beroperasi di rute Krueng Mane-Lhokseumawe dengan jarak tempuh 14 kilometer. Namun, hingga Senin pekan ini, kereta hanya parkir di gudang.
The Atjeh Times mencoba mengontak Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Yuwaldi Away, untuk mengonfirmasi kembali nasib proyek kereta api. Namun, kata seorang stafnya, ia sedang di Bali.
Pantauan The Atjeh Times, rel kereta api yang dibangun dengan dana ratusan miliar itu nasibnya tak jelas. Untuk rute Lhokseumawe-Krueng Geukueh kondisi rel kereta api yang terlihat terawat lumayan baik hanya ada di kawasan Blang Nalueng Mameh, Muara Satu, Lhokseumawe.
Adapun di kawasan lain, seperti Batuphat Barat-Batuphat Timur, Muara Satu, rel kereta api berjarak beberapa jengkal dari rumah warga.
Di Desa Paloh, Muara Satu, tepatnya di luar pagar kompleks kilang LNG Arun, beberapa meter dari Jalan Banda Aceh-Medan, rel kereta api tertutup tumpukan potongan kayu. Ada juga bangunan kecil di atas rel tersebut. Pemandangan hampir sama juga ada di Simpang Jembatan Loskala.
Di kawasan Batuphat Barat-Batuphat Timur, Muara Satu, rel kereta api yang berjarak beberapajengkal dari deretan rumah warga sudah tertimbun tumpukan tanah.
Lalu, di kawasan Desa Paloh, Muara Satu, tepatnya di luar pagar kompleks kilang LNG Arun, beberapa meter dari Jalan Banda Aceh-Medan, rel kereta api tertutup tumpukan potongan kayu. Juga ada bangunan kecil di atas rel tersebut.
Pemandangan hampir sama di Simpang Jembatan Loskala. Ada beberapa warung yang didirikan oleh warga di atas rel kereta api. “Kereta apinya tidak jelas kapan akan melintas, makanya badan rel dipakai sementara untuk warung,” kata Hasan, warga di sekitar lokasi itu.
Di kawasan Desa Panggoi, Muara Dua, balok rel kereta api juga sudah tertimbun tanah di banyak titik. Selain itu, juga tertutup semak-semak. Begitu pula yang tampak pada rel di kawasan Meunasah Mesjid, Muara Dua.
Kondisi itulah yang menimbulkan rasa pesimis warga. Bustamam, seorang supir truk trayek Banda Aceh-Medan, tak yakin proyek itu dapat segera rampung. “Ini seperti pungguk merindukan bulan. Kami menganggap ini pura-pura,” ujarnya.
Rasa pesimis Bustamam masuk akal. Hitung saja, jika total anggaran yang dibutuhkan adalah Rp12 triliun, dan rata-rata anggaran yang dikucurkan per tahun katakanlah Rp 100 miliar, waktu yang diperlukan: 120 tahun!
Awalnya, sempat muncul skema pembiayaan begini: sebagian dibiayai APBN, sebagian lagi dari investor luar negeri. Namun, rencana itu tak terwujud. Bahkan, perusahaan perkeretaapian Perancis yang sempat datang ke Aceh setelah bencana tsunami dan menyodorkan proposal bantuan, belakangan undur diri.
“Yang tanya-tanya banyak, tapi tidak ada yang jadi,” kata Yuwaldi beberapa waktu lalu.
Di Muara Batu, Bustamam masih tak habis pikir,”Kalau relnya belum jelas, kenapa pula kereta duluan dipesan?”| YUSWARDI A.S | IRMAN I.P (Lhokseumawe)

  

Senin, 17 September 2012

Sumber Daya Alam Aceh dalam Sejarah Penguasaan yang Menjajah


auditor : Saiful bahri

Aceh memiliki sejarah panjang perebutan sumber daya alam, dari zaman kolonial sampai sekarang. Sumber daya alam Aceh tidak hanya menjadi lahan korupsi, tetapi juga memicu kekuasaan yang menjajah dalam bentuk kebijakan yang diatur secara formal oleh Negara. Negara telah begitu jauh merambah hak terhadap sumber daya alam Aceh untuk memperkaya beberapa kelompok pejabat mereka ketimbang menjaga sumber daya alam sebagai asset untuk bangsa.

Sumber daya yang melimpah di hutan Aceh 
Hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah asal muasal terbentuknya wilayah kerajaan Aceh. Di dalam bukunya - penulis hikayat dan buku berbahasa Aceh, Tgk Affan Jamuda Menulis:
“Asai Nanggroe Aceh phon cit nibak rimba Tuhan, rimba raya nyang gohlom rame ureung Nanggroe, nyangna cit aulia-aulia Allah. Teuma ji wangsa Parsi-nyan neucah rimba neupeujeuet keutanoh blang bak neumeugoe, neupeupuga gampong bak neumeunanggroe ngon neumeu-aneuk cuco. Neumeususah payah dalam rimba Tuhan……… Neuilay daya neucah rimba ngon huteuen beuraleuen sampoe jeut keunanggroe.” (Tgk. Affan Jamuda, “Pengajaran Peuturi Droe Keudroe,” Angkasa Muda,1988).

Masih menurut Tgk Affan Jamuda, seiring berjalannya zaman sekitar abad 14 Masehi, di wilayah pesisir hutan Aceh telah ditanami lada yang lebat. Tanaman lada paling banyak ditanam di perbukitan yang mengarah ke Selat Malaka sekitar perbukitan Krueng Raya. Ini dimaksudkan agar petani-petani lada pada masa itu dapat memata-matai setiap kapal asing yang berlayar dan singgah di Selat Malaka. Jika ada kapal asing yang mencurigakan, maka para petani lada tersebut segera melaporkannya ke Sultan.

Pada masa itu lada di hutan-hutan Aceh telah menjadi barang ekspor yang utama. Cina merupakan tujuan utama ekspor lada hingga berlanjut pada permintaan dari pedagang Barat. Di hutan-hutan Aceh juga banyak dijumpai ulat-ulat penghasil sutera. Menurut Laksamana Augustin de Beaulieu dalam buku kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang ditulis oleh Denys Lombard, sutera di Aceh kuning dan sangat digemari di seluruh Sumatera. Para petani mengusahakannya dalam jumlah yang banyak. 

Hasil-hasil hutan lainnya seperti minyak tanah juga ditemukan. Raja Aceh pernah membakar dua kapal Portugis yang sedang diperanginya dengan minyak itu di dekat Malaka. Tanah cempaga atau belerang, kapur, kemenyan dan emas juga pernah ditemukan di masa itu. Utusan Belanda di Aceh, Tuan Croc pernah dihadiahi orang Aceh sebuah batu sebesar telur angsa yang bergaris-garis emas.

Perebutan sumber daya alam Aceh oleh Agressi Netherland East Indies
Pada 5 juli 1873, Sebuah surat kabar bernama “The New York Times” menulis laporannya dan memuat berita perselisihan yang di keluarkan di Den Haag. Perselisihan itu direkayasa sedemikian rupa dengan maksud untuk merampas semua kekayaan alam Aceh. Surat kabar “Basirat” di Istambul pada masa itu menulis bahwa, satu kapal perang Belanda menghampiri perairan Kuala Aceh dan meminta Aceh supaya menyerah kepada Belanda. Sultan Aceh menolak permintaan itu dan mengutus duta ke Istambul guna meminta bantuan dari khalifah Islam jika meletus perang dengan Belanda. 

Setelah hampir dua tahun kemudian, lebih dari 20 buah kapal perang berbendera Belanda berlabuh di Kuala Aceh. Belanda melancarkan perang terhadap Aceh sampai tahun 1942 tanpa sebuah kemenangan. Imperium Netherland East Indies akhirnya bangkrut dan runtuh karena terlalu lama mendanai perang Aceh (Baca: Yusra Habib Abdul Gani, 5 April dibawah Bendera Belanda). 

Nasib sumber daya alam Aceh dalam kekuasaan Indonesia 
Penguasaan sumber daya alam Aceh ke tangan Negara Indonesia hanyalah sebuah pergantian imperium. Pembuatan kebijakan di tangan Negara hanyalah kebijakan berdasarkan politik birokrasi dan hampir seluruhnya dikendalikan oleh pelaku-pelaku Negara. Rakyat Aceh menjadi sangat tidak berdaya secara politis, sistem legeslatif dan yudikatif juga tidak berfungsi.


Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dijadikan dasar hukum kebijakan pengelolaan sumber daya alam, yang merumuskan bahwa Negara memiliki hak mutlak untuk mengendalikan seluruh sumber daya nasional, termasuk Aceh. Di sektor kehutanan, dasar hukum utama adalah Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5/1967, sebagai tindak lanjut untuk merinci lebih jauh kedaulatan Negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan telah mengatur berbagai kebijakan di sector kehutanan. Memberi mandat kepada pemerintah untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan pengaturan pemanfaatan hutan di dalam lingkup kewenangannya.


Kewenangan resmi Pemerintah Indonesia untuk menguasai lahan tidak bertuan, termasuk hutan masyarakat tradisional, serta mengalokasikan hak pengusahaan kepada perusahaan swasta atau memanfaatkan lahan untuk kepentingan lainnya, telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih hak pemanfaatan serta akses antara hutan adat dan hutan negara. Kemarahan dan konflik serius antara berbagai pengguna hutan di Aceh pun terjadi selama puluhan tahun, terutama konflik antara HPH dan perusahaan yang didukung Negara dengan masyarakat setempat.


Falsafah yang terkandung dalam UUPK 1967 tidak berbeda secara signifikan dengan Undang-undang Kehutanan Kolonial pada tahun 1865. Pada masa colonial, dinas kehutanan berusaha mengendalikan dan mengeksploitasi hutan di luar Jawa secara terpusat melalui peraturan kehutanan yang seragam. Ahli kehutanan dilatih dan memandang rendah cara pengelolaan sumber daya yang berbeda yang dilakukan oleh institusi lain dan tidak dapat menerima gagasan tentang pengelolaan hutan yang bersifat lebih rasional.


Maka tidaklah mengherankan jika asumsi pemerintah tentang masalah pengelolaan hutan di Aceh berasal dari pengalaman yang diperoleh di Jawa. UUPK 1967 merupakan puncak upaya intensif pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengelolaan hutan yang seragam di Jawa dan luar Jawa. Dengan Undang-undang ini, penguasaan hutan oleh Negara secara sentralistik, yang dilembagakan Belanda di Jawa selama pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, juga diterapkan di Aceh.


Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1960-an sampai pertengahan 1980-an memperkuat monopoli atas peguasaan hutan, membangun sikap kebencian dan permusuhan terhadap praktek-praktek kehutanan local, menciptakan kerangka kelembagaan yang secara sistematis menghapus system pengelolaan local dari diskursus kehutanan formal.


Pelecehan dan permusuhan secara resmi terhadap praktek-praktek pengelolaan sumber daya hutan dan cara hidup masyarakat di dalam dan sekitar hutan itu pun dituangkan di dalam formal kebijakan. Instrumen-instrumen kebijakan ditetapkan untuk merefleksikan penolakan total pemerintah terhadap akses masyarakat local pada hutan. Perladangan berpindah dianggap tidak produktif secara ekonomi serta merusak secara ekologis. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dinilai terbelakang dan karenanya perlu diintegrasikan ke dalam masyarakat umum. Sikap ini secara nyata diwarisi dari kolonial Belanda.


Pengendalian secara ketat terhadap sistem perladangan berpindah ini merupakan tujuan utama rencana pembangunan lima tahun pertama imperium Soeharto (1968-1974) dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Ideologi yang cendrung negatif dan bermusuhan terhadap masyarakat penghuni hutan menghasilkan seperangkat kebijakan yang berusaha menjauhkan kelompok masyarakat ini dari hutan atau bertujuan mengubah praktek-prakek adat mereka dalam pengelolaan hutan menjadi cara hidup yang sesuai dengan keinginan pembuat kebijakan pada masa itu.


Pembatasan akses petani pada hutan semakin dipertegas dengan pelarangan secara bertahap penebangan kayu skala kecil dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu. Untuk menentukan kriteria dan mekanisme administrasi untuk pengusahaan hutan baik skala besar maupun kecil, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/1970; izin usaha skala besar (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) dikeluarkan oleh pemerintah pusat, sedangkan izin eksploitasi skala yang lebih kecil (Hak Pemungutan Hasil Hutan atau HPHH) dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Pada sistem HPHH, perorangan dan pengusahan setempat diperbolehkan memungut hasil hutan secara manual baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk pasar lokal (tidak untuk ekspor), namun peraturan yang sama juga membekukan akses masyarakat adat pada sumber daya di kawasan HPH.


Pemerintah pada masa itu, masih merefleksikan maksud jahatnya terhadap masyarakat lokal. HPHH ternyata tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan karena mereka tidak memahami prosedur birokrasi yang berbasis perkotaan dan juga tidak mempunyai modal untuk memulai; keuntungan terutama masih saja dipetik oleh sekelompok orang kaya raya di kota yang notabene dekat dengan pihak pemerintah. Kebijakan utama imperium Soeharto untuk mengubah dan mengatur hubungan antara hutan dan masyarakat terlihat dalam sebuah instrumen yang dinamai dengan program pemukiman kembali serta program pertanian menetap, yang dikombinasikan dengan pembatasan akses pada hutan secara paksa. PP No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan serta kemudian PP No. 28/1985 tentang Perlindungan Hutan secara spesifik melarang akses masyarakat lokal pada hutan adat di dalam kawasan konsesi dan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah.


Gesekan antara pemerintah dan masyarakat pun mulai sering terjadi, yang dipicu oleh sikap pemerintah yang menganggap pemanfaatan sumber daya hutan oleh penduduk desa sebagai tindakan kriminal. Insiden-insiden antara masyarakat setempat dengan kepentingan bisnis kayu hutan yang didukung oleh pemerintah terjadi secara luas. Ketika berbagai insiden tersebut meluas menjadi tindakan kekerasan, pemerintah seringkali menggunakan kekuatan serdadu militer untuk menanggulanginya.


Selanjutnya, pada pertengahan 1980an sampai 1997, program penghutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.


Karena berbagai desakan yang dibangun oleh berbagai komponen dan koalisi masyarakat sipil, pada tahun 1998 sampai sekarang, mulai terjadi titik tolak perubahan kebijakan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mulai dimasukkan ke dalam kerangka kerja kehutanan yang sah, walaupun sistem lokal ini masih berada dibawah sistem kehutanan pemerintah.


Masa depan hutan Aceh memasuki tahun-tahun moratorium logging sejak diinstruksikannya pada tahun 2007 yang lalu oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf masih sarat dengan masalah. Aceh memang sedang ditakdirkan melewati masa transisi yang sulit. Namun masih disayangkan, bahwa sejumlah Hak Guna Usaha (HGU) sekarang kembali di izinkan oleh pejabat Pemerintahan Aceh. Sekali lagi, izin HGU ini hanya mampu dimiliki oleh sekelompok orang yang kaya raya. HGU masih tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan karena masyarakat kecil tidak memahami prosedur birokrasi yang berbelit dan mahal. Pak tani kita tetap saja tidak mempunyai modal untuk memulai. 

Eksploitasi sumber daya alam Aceh oleh Exxon Mobil
Kehadiran Exxon mobil sejak tahun 1968 ternyata hanya melahirkan ketimpangan ekonomi dan sosial, Meski pun perusahaan ini dapat mengeksploitasi gas alam hingga mencapai 3,4 juta ton per tahunnya, tetapi realitas ekonomi penduduk di sekitar mega industri itu masih tunggang langgang.


Exxon Mobil sejak hadir di Aceh sampai dengan sekarang masih menyisakan kontroversi. Menurut kesaksian masyarakat, tanah dirampas tanpa kompensasi yang cukup, operasi perusahaan menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan, dan,walaupun ada penyerapan tenaga kerja yang terkait dengan pembangunan awal, operasi perusahaaan gas ini telah gagal menurunkan angka kemiskinan yang berada di wilayah sekitarnya. Di atas semua itu, Exxon Mobil dan PT Arun, melalui hubungan mereka dengan TNI, tetap tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan dalam konflik yang melanda Aceh sejak tahun 1970an.(Sumber:Lesley McCulloch, “Greed: The Silent Force of the Conflict in Aceh,” paper tidak diterbitkan, Deakin University, Melbourne, Australia (Oktober 2003), 4,http://www.preventconflict.org/portal/main/greed.pdf.).

Penutup 
 Di dalam sejarahnya, sumber daya alam Aceh kaya akan material-material bernilai tinggi dan menjadi perebutan banyak pihak, baik Negara melalui kebijakan formalnya, maupun perusahaan-perusaan asing melalui investasinya. Namun penguasaan yang menjajah oleh Negara melalui aturan-aturan formal yang tidak memihak kepada masyarakat penghuni sekitar sumber daya alam tersebut telah memunculkan berbagai persoalan sosial, ini menjadi sejarah buruk rakyat Aceh dari masa ke masa dimana meluasnya bentuk-bentuk kemiskinan massif yang ditandai oleh kelaparan di tengah kemewahan, putus sekolah massal di tengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal di tengah gaya hidup royal kaum pemodal.


Sejarah Aceh juga mencatat bahwa, terdapat penguasaan tanah yang luas oleh serdadu di era konflik. Beberapa kasus, seperti tanah masyarakat desa Mane, Aceh Pidie, yang berubah menjadi kompi Senapan, merupakan sebagian kecil konflik terbuka yang pada saat kejadiaannya dapat ditekan secara efektif melalui kekerasan. Rakyat kehilangan sarana produksi mereka yang paling penting, yaitu tanah.


Sebagian besar konflik tanah hutan yang lain terpaksa terpendam bagai bom waktu, seperti kasus penyerobotan tanah Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan di Seulawah, Aceh Besar, untuk membangun Markas Komando Brimob, yang titik letusnya menunggu melonggarnya cengkraman dan tekanan penguasa yang tengah berlaku. Rakyat Aceh sedang menunggu pengadilan sejarah atas sumber daya alam mereka.