Jumat, 21 September 2012

Anggota DPRK Pidie Terima 34 iPad






* Bersifat Pinjam Pakai
SIGLI - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRK) Pidie, Rabu (19/9), mendapatkan 34 unit iPad tablet apple. Barang elektronik serba guna itu dibeli menggunakan dana APBK 2012 bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU).

“Betul tahun ini kami membeli 34 unit iPad merk apple. Proses tender alat tersebut dilaksanakan pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Pidie sebagai panitia. Dan, Rabu (19/9) kemarin, iPad telah diterima masing-masing anggota DPRK Pidie,” kata Sekwan DPRK Pidie, Zainal Abidin SE MSi, didampingi Wakil DPRK Pidie, Ir Muhammad Ali, kepada Serambi, Kamis (19/9).

Ia menjelaskan, iPad yang dibagikan kepada 34 anggota dewan tersebut, statusnya sebagai pinjaman atau hak pakai. Karena ketika anggota dewan tersebut habis jabatannya, maka iPad tersebut harus dikembalikan kepada Pemkab. Sebab, iPad tersebut merupakan asset daerah. Jika rusak pun harus dikembalikan. Begitu pun hilang harus diganti. “Saat penyerahan iPad kepada anggota dewan, kami membuat MoU terhadap masa pemakaiannya. Karena barang itu milik daerah,” kata Zainal Abidin yang juga mantan Sekretaris Dinas BMCK Pidie itu.

Ditanya kenapa pengadaan iPad kepada dewan hanya 34 unit sementara jumlah anggota DPRK Pidie 45 orang. Kata Zainal, sebagian anggota dewan telah dapat laptop pengadaan APBK tahun 2011. Laptop tersebut dibeli 11 unit yang statusnya juga pinjaman pakai. Artinya, kata Zainal, bagi anggota dewan yang telah menerima laptop tidak boleh mendapatkan iPad.

Wakil Ketua DPRK Pidie, Ir Muhammad Ali, kepada Serambi kemarin, mengatakan, tujuan dibelikannya iPad kepada anggota dewan, tak lain untuk mengakses aturan perundang-undangan saat menjalankan tugas membahas APBK dan menggodok qanun. Baik, undang-undang, peraturan pemerintah, pemendagri dan aturan lainnya. “Jadi aturan tidak bisa kita hafal. Jadi ketika adanya iPad kita dengan mudah bisa mengaksesnya sehingga mempercepat tugas dewan. Dan, barang itu pun statusnya hak pakai saja oleh dewan,” kata M Ali.(naz)

Pemborosan Keuangan Daerah

Koordinator Pidie Transparansi Anggaran (PiTA), Pidie, Ismail Von H Sabi, kepada Serambi Kamis (20/9) mengatakan, LSM PiTA menyayangkan adanya pembagian iPad kepada anggota DPRK Pidie. Terkesan legislatif telah mengabaikan kepentingan yang urgen di tengah masyarakat.

Kata Ismail, apakah dibaginya iPad tersebut menjadi kebutuhan anggota dewan. “Kami bukan anti terhadap pengadaan barang tersebut, akan tetapi ada kebutuhan lain yang lebih mendesak yang seharusnya mereka pikirkan seperti masih banyak ruas jalan rusak,” katanya.

Lanjut Ismail, yang dilakukan dewan saat ini ada lah pemborosan keuangan daerah ditengah terjadinya defisit anggaran. Sebab, dana untuk membeli peralatan kerja itu mencapai Rp 289 juta, jika ditotal jumlah iPad yang dibeli dengan harga Rp 8,5 juta/unit. Seharusnya dana tersebut, kata Ismail, bisa juga digunakan untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK), yang selama ini jauh dari perhatian pemerintah ataupun untuk membangun sejumlah rumah duafa.(naz)

Selasa, 18 September 2012

Kapan selesai kereta api melalui aceh


Kereta Api Aceh, 120 Tahun Lagi?


TERKURUNG di dalam pagar kawat besi, dua gerbong kereta api itu berkilat-kilat diterpa cahaya matahari. Tampilannya mentereng. Bodinya mulus. Warnanya biru dipadu putih dan garis oranye di bagian samping.
Sempat ditempatkan di Krueng Geukueh, gerbong kereta yang diproduksi oleh PT INKA saat ini digudangkan di Kompleks Stasiun Kereta Api di Desa Ulee Madon, Bungkah, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Sejak tiba di pelabuhan Krueng Geukueh, Desember 2008 lalu, kereta api seharga Rp 19,5 miliar itu baru sekali keluar kandang, yaitu saat uji coba pertengahan tahun lalu. Setelah itu, kereta pun kembali masuk gudang.
Ketika didatangi wartawan The Atjeh Times Senin lalu, kompleks stasiun kereta itu terlihat sepi. Belakangan, seorang pria turun dari dalam gerbong kereta. Rupanya, ia dan seorang temannya tertidur di dalam gerbong.
Melongok ke dalam, kursi fiber warna biru dipasang saling berhadapan di sisi kiri dan kanan kereta. Di langit-langit, tali tempat pegangan penumpang sudah luluh. Saat The Atjeh Times memegang alat pegangan itu, talinya langsung terputus, lalu pecah jadi serbuk saat dipencet dengan jari.
“Memang tali alat pegangan itu sudah tidak bagus, mungkin karena sudah lama tak terpakai,” kata seorang petugas jaga. Lalu, ia menunjukkan sejumlah alat pegangan yang talinya sudah copot.
Ini bukan kereta api biasa. Meski dibuat oleh PT Industri Kereta Api (INKA) di Madiun, Jawa Timur, mesin diesel dan remnya dipesan khusus dari Jerman, Prancis, dan Singapura. Berkapasitas 64 kursi dan memuat 200 penumpang berdiri, kereta itu jenis KRDI, Kereta Rel Diesel Indonesia. Dari namanya dapat ditebak, kereta itu digerakkan mesin diesel. Kereta jenis ini biasanya melayani rute jarak pendek, sekitar 20 hingga 30 kilometer dengan kecepatan maksimum 120 kilometer per jam.
Setiap gerbong punya empat pintu, termasuk ruang masinis. Pada tiap-tiap gerbong tertulis “KRDI-3 08209” dan “KRDI-3 08210”. Di dinding bagian dalam ada tulisan “Kelas-3, 64 Penumpang”.
“Dua gerbong kereta api ini sudah pernah dilakukan uji coba tahun 2011 lalu, dari stasiun ini (Bungkah) ke Stasiun Cot Seurani (Kecamatan Muara Batu), ” kata seorang petugas jaga.
Hasanun, 21 tahun, warga Desa Ulee Madon, mengatakan ada sekitar 20 warga--sebagian besar bocah hingga anak muda--naik kereta api itu saat uji coba tahun lalu.
“Dua kali uji coba, saya sempat takut saat naik kereta api itu, bergetar hebat, mungkin karena relnya belum begitu kuat,” kata Hasanun saat ditemui di seputaran stasiun kereta api itu.
Kabar yang didengar petugas jaga ini, gerbong kereta api tersebut dalam waktu dekat bakal dioperasionalkan dengan memanfaatkan jalur rel yang sudah rampung dari Kecamatan Muara Batu ke Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
***
Pembelian dua gerbong kereta api itu berawal dari sebuah mimpi menghidupkan kembali kereta api Aceh setelah ‘mati suri’ sejak 1982. Dicanangkan pada masa Presiden BJ Habibie tahun 2009, proyek itu sempat terhadang perang. Pascatsunami dan perjanjian damai, ide itu hidup lagi: membangunkan kereta api Aceh dari tidurnya.
Pada 2002, dibuatlah rencana umum pengembangan Kereta Api Sumatera Railway Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh-Medan dianggap sebagai solusi transportasi massal dan murah. Program ini disiapkan pemerintah dengan bantuan konsultan asing Mott McDonald dan SNCF Internasional.
Dua tahun berselang, pemerintah pusat melalui Menteri Perhubungan mengumumkan detail pembangunan kembali rel kereta api yang menghubungkan Aceh-Medan. Panjangnya diperkirakan 450 kilometer. Jalur ini akan dibangun 5 tahapan: Langsa-Besitang (50,60 kilometer), Langsa-Lhokseumawe (150,60 kilometer), Bireuen-Sigli (100,77 kilometer), dan Sigli-Banda Aceh (93,027 kilometer). Total anggaran yang dibutuhkan Rp 7,1 triliun.
Tahun 2007, sempat terhenti setelah tsunami, pembangunan rel kereta api kembali dilakukan di Lhokseumawe dan Aceh Utara. Perencanaan diubah. Panjang rel yang harus dibangun menjadi 586 kilometer. Kebutuhan biaya membengkak menjadi 12 triliun (baca: Jalan Panjang Kereta Api Aceh).
Pada awal 2009, Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Yuwaldi Away, sudah menjanjikan kereta segera berderak. “Target saya, untuk tahap pertama, rute Cunda-Simpang Mane, Aceh Utara, sudah bisa beroperasi,” kata Yuwaldi ketika itu.
Dua tahun tanpa kabar, pada Februari 2011, berembus kabar baik. Yuwaldi menjanjikan kereta akan beroperasi di rute Krueng Mane-Lhokseumawe dengan jarak tempuh 14 kilometer. Namun, hingga Senin pekan ini, kereta hanya parkir di gudang.
The Atjeh Times mencoba mengontak Kepala Dinas Perhubungan Aceh, Yuwaldi Away, untuk mengonfirmasi kembali nasib proyek kereta api. Namun, kata seorang stafnya, ia sedang di Bali.
Pantauan The Atjeh Times, rel kereta api yang dibangun dengan dana ratusan miliar itu nasibnya tak jelas. Untuk rute Lhokseumawe-Krueng Geukueh kondisi rel kereta api yang terlihat terawat lumayan baik hanya ada di kawasan Blang Nalueng Mameh, Muara Satu, Lhokseumawe.
Adapun di kawasan lain, seperti Batuphat Barat-Batuphat Timur, Muara Satu, rel kereta api berjarak beberapa jengkal dari rumah warga.
Di Desa Paloh, Muara Satu, tepatnya di luar pagar kompleks kilang LNG Arun, beberapa meter dari Jalan Banda Aceh-Medan, rel kereta api tertutup tumpukan potongan kayu. Ada juga bangunan kecil di atas rel tersebut. Pemandangan hampir sama juga ada di Simpang Jembatan Loskala.
Di kawasan Batuphat Barat-Batuphat Timur, Muara Satu, rel kereta api yang berjarak beberapajengkal dari deretan rumah warga sudah tertimbun tumpukan tanah.
Lalu, di kawasan Desa Paloh, Muara Satu, tepatnya di luar pagar kompleks kilang LNG Arun, beberapa meter dari Jalan Banda Aceh-Medan, rel kereta api tertutup tumpukan potongan kayu. Juga ada bangunan kecil di atas rel tersebut.
Pemandangan hampir sama di Simpang Jembatan Loskala. Ada beberapa warung yang didirikan oleh warga di atas rel kereta api. “Kereta apinya tidak jelas kapan akan melintas, makanya badan rel dipakai sementara untuk warung,” kata Hasan, warga di sekitar lokasi itu.
Di kawasan Desa Panggoi, Muara Dua, balok rel kereta api juga sudah tertimbun tanah di banyak titik. Selain itu, juga tertutup semak-semak. Begitu pula yang tampak pada rel di kawasan Meunasah Mesjid, Muara Dua.
Kondisi itulah yang menimbulkan rasa pesimis warga. Bustamam, seorang supir truk trayek Banda Aceh-Medan, tak yakin proyek itu dapat segera rampung. “Ini seperti pungguk merindukan bulan. Kami menganggap ini pura-pura,” ujarnya.
Rasa pesimis Bustamam masuk akal. Hitung saja, jika total anggaran yang dibutuhkan adalah Rp12 triliun, dan rata-rata anggaran yang dikucurkan per tahun katakanlah Rp 100 miliar, waktu yang diperlukan: 120 tahun!
Awalnya, sempat muncul skema pembiayaan begini: sebagian dibiayai APBN, sebagian lagi dari investor luar negeri. Namun, rencana itu tak terwujud. Bahkan, perusahaan perkeretaapian Perancis yang sempat datang ke Aceh setelah bencana tsunami dan menyodorkan proposal bantuan, belakangan undur diri.
“Yang tanya-tanya banyak, tapi tidak ada yang jadi,” kata Yuwaldi beberapa waktu lalu.
Di Muara Batu, Bustamam masih tak habis pikir,”Kalau relnya belum jelas, kenapa pula kereta duluan dipesan?”| YUSWARDI A.S | IRMAN I.P (Lhokseumawe)

  

Senin, 17 September 2012

Sumber Daya Alam Aceh dalam Sejarah Penguasaan yang Menjajah


auditor : Saiful bahri

Aceh memiliki sejarah panjang perebutan sumber daya alam, dari zaman kolonial sampai sekarang. Sumber daya alam Aceh tidak hanya menjadi lahan korupsi, tetapi juga memicu kekuasaan yang menjajah dalam bentuk kebijakan yang diatur secara formal oleh Negara. Negara telah begitu jauh merambah hak terhadap sumber daya alam Aceh untuk memperkaya beberapa kelompok pejabat mereka ketimbang menjaga sumber daya alam sebagai asset untuk bangsa.

Sumber daya yang melimpah di hutan Aceh 
Hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah asal muasal terbentuknya wilayah kerajaan Aceh. Di dalam bukunya - penulis hikayat dan buku berbahasa Aceh, Tgk Affan Jamuda Menulis:
“Asai Nanggroe Aceh phon cit nibak rimba Tuhan, rimba raya nyang gohlom rame ureung Nanggroe, nyangna cit aulia-aulia Allah. Teuma ji wangsa Parsi-nyan neucah rimba neupeujeuet keutanoh blang bak neumeugoe, neupeupuga gampong bak neumeunanggroe ngon neumeu-aneuk cuco. Neumeususah payah dalam rimba Tuhan……… Neuilay daya neucah rimba ngon huteuen beuraleuen sampoe jeut keunanggroe.” (Tgk. Affan Jamuda, “Pengajaran Peuturi Droe Keudroe,” Angkasa Muda,1988).

Masih menurut Tgk Affan Jamuda, seiring berjalannya zaman sekitar abad 14 Masehi, di wilayah pesisir hutan Aceh telah ditanami lada yang lebat. Tanaman lada paling banyak ditanam di perbukitan yang mengarah ke Selat Malaka sekitar perbukitan Krueng Raya. Ini dimaksudkan agar petani-petani lada pada masa itu dapat memata-matai setiap kapal asing yang berlayar dan singgah di Selat Malaka. Jika ada kapal asing yang mencurigakan, maka para petani lada tersebut segera melaporkannya ke Sultan.

Pada masa itu lada di hutan-hutan Aceh telah menjadi barang ekspor yang utama. Cina merupakan tujuan utama ekspor lada hingga berlanjut pada permintaan dari pedagang Barat. Di hutan-hutan Aceh juga banyak dijumpai ulat-ulat penghasil sutera. Menurut Laksamana Augustin de Beaulieu dalam buku kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang ditulis oleh Denys Lombard, sutera di Aceh kuning dan sangat digemari di seluruh Sumatera. Para petani mengusahakannya dalam jumlah yang banyak. 

Hasil-hasil hutan lainnya seperti minyak tanah juga ditemukan. Raja Aceh pernah membakar dua kapal Portugis yang sedang diperanginya dengan minyak itu di dekat Malaka. Tanah cempaga atau belerang, kapur, kemenyan dan emas juga pernah ditemukan di masa itu. Utusan Belanda di Aceh, Tuan Croc pernah dihadiahi orang Aceh sebuah batu sebesar telur angsa yang bergaris-garis emas.

Perebutan sumber daya alam Aceh oleh Agressi Netherland East Indies
Pada 5 juli 1873, Sebuah surat kabar bernama “The New York Times” menulis laporannya dan memuat berita perselisihan yang di keluarkan di Den Haag. Perselisihan itu direkayasa sedemikian rupa dengan maksud untuk merampas semua kekayaan alam Aceh. Surat kabar “Basirat” di Istambul pada masa itu menulis bahwa, satu kapal perang Belanda menghampiri perairan Kuala Aceh dan meminta Aceh supaya menyerah kepada Belanda. Sultan Aceh menolak permintaan itu dan mengutus duta ke Istambul guna meminta bantuan dari khalifah Islam jika meletus perang dengan Belanda. 

Setelah hampir dua tahun kemudian, lebih dari 20 buah kapal perang berbendera Belanda berlabuh di Kuala Aceh. Belanda melancarkan perang terhadap Aceh sampai tahun 1942 tanpa sebuah kemenangan. Imperium Netherland East Indies akhirnya bangkrut dan runtuh karena terlalu lama mendanai perang Aceh (Baca: Yusra Habib Abdul Gani, 5 April dibawah Bendera Belanda). 

Nasib sumber daya alam Aceh dalam kekuasaan Indonesia 
Penguasaan sumber daya alam Aceh ke tangan Negara Indonesia hanyalah sebuah pergantian imperium. Pembuatan kebijakan di tangan Negara hanyalah kebijakan berdasarkan politik birokrasi dan hampir seluruhnya dikendalikan oleh pelaku-pelaku Negara. Rakyat Aceh menjadi sangat tidak berdaya secara politis, sistem legeslatif dan yudikatif juga tidak berfungsi.


Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dijadikan dasar hukum kebijakan pengelolaan sumber daya alam, yang merumuskan bahwa Negara memiliki hak mutlak untuk mengendalikan seluruh sumber daya nasional, termasuk Aceh. Di sektor kehutanan, dasar hukum utama adalah Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5/1967, sebagai tindak lanjut untuk merinci lebih jauh kedaulatan Negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan telah mengatur berbagai kebijakan di sector kehutanan. Memberi mandat kepada pemerintah untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan pengaturan pemanfaatan hutan di dalam lingkup kewenangannya.


Kewenangan resmi Pemerintah Indonesia untuk menguasai lahan tidak bertuan, termasuk hutan masyarakat tradisional, serta mengalokasikan hak pengusahaan kepada perusahaan swasta atau memanfaatkan lahan untuk kepentingan lainnya, telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih hak pemanfaatan serta akses antara hutan adat dan hutan negara. Kemarahan dan konflik serius antara berbagai pengguna hutan di Aceh pun terjadi selama puluhan tahun, terutama konflik antara HPH dan perusahaan yang didukung Negara dengan masyarakat setempat.


Falsafah yang terkandung dalam UUPK 1967 tidak berbeda secara signifikan dengan Undang-undang Kehutanan Kolonial pada tahun 1865. Pada masa colonial, dinas kehutanan berusaha mengendalikan dan mengeksploitasi hutan di luar Jawa secara terpusat melalui peraturan kehutanan yang seragam. Ahli kehutanan dilatih dan memandang rendah cara pengelolaan sumber daya yang berbeda yang dilakukan oleh institusi lain dan tidak dapat menerima gagasan tentang pengelolaan hutan yang bersifat lebih rasional.


Maka tidaklah mengherankan jika asumsi pemerintah tentang masalah pengelolaan hutan di Aceh berasal dari pengalaman yang diperoleh di Jawa. UUPK 1967 merupakan puncak upaya intensif pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengelolaan hutan yang seragam di Jawa dan luar Jawa. Dengan Undang-undang ini, penguasaan hutan oleh Negara secara sentralistik, yang dilembagakan Belanda di Jawa selama pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, juga diterapkan di Aceh.


Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1960-an sampai pertengahan 1980-an memperkuat monopoli atas peguasaan hutan, membangun sikap kebencian dan permusuhan terhadap praktek-praktek kehutanan local, menciptakan kerangka kelembagaan yang secara sistematis menghapus system pengelolaan local dari diskursus kehutanan formal.


Pelecehan dan permusuhan secara resmi terhadap praktek-praktek pengelolaan sumber daya hutan dan cara hidup masyarakat di dalam dan sekitar hutan itu pun dituangkan di dalam formal kebijakan. Instrumen-instrumen kebijakan ditetapkan untuk merefleksikan penolakan total pemerintah terhadap akses masyarakat local pada hutan. Perladangan berpindah dianggap tidak produktif secara ekonomi serta merusak secara ekologis. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dinilai terbelakang dan karenanya perlu diintegrasikan ke dalam masyarakat umum. Sikap ini secara nyata diwarisi dari kolonial Belanda.


Pengendalian secara ketat terhadap sistem perladangan berpindah ini merupakan tujuan utama rencana pembangunan lima tahun pertama imperium Soeharto (1968-1974) dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Ideologi yang cendrung negatif dan bermusuhan terhadap masyarakat penghuni hutan menghasilkan seperangkat kebijakan yang berusaha menjauhkan kelompok masyarakat ini dari hutan atau bertujuan mengubah praktek-prakek adat mereka dalam pengelolaan hutan menjadi cara hidup yang sesuai dengan keinginan pembuat kebijakan pada masa itu.


Pembatasan akses petani pada hutan semakin dipertegas dengan pelarangan secara bertahap penebangan kayu skala kecil dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu. Untuk menentukan kriteria dan mekanisme administrasi untuk pengusahaan hutan baik skala besar maupun kecil, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/1970; izin usaha skala besar (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) dikeluarkan oleh pemerintah pusat, sedangkan izin eksploitasi skala yang lebih kecil (Hak Pemungutan Hasil Hutan atau HPHH) dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Pada sistem HPHH, perorangan dan pengusahan setempat diperbolehkan memungut hasil hutan secara manual baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk pasar lokal (tidak untuk ekspor), namun peraturan yang sama juga membekukan akses masyarakat adat pada sumber daya di kawasan HPH.


Pemerintah pada masa itu, masih merefleksikan maksud jahatnya terhadap masyarakat lokal. HPHH ternyata tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan karena mereka tidak memahami prosedur birokrasi yang berbasis perkotaan dan juga tidak mempunyai modal untuk memulai; keuntungan terutama masih saja dipetik oleh sekelompok orang kaya raya di kota yang notabene dekat dengan pihak pemerintah. Kebijakan utama imperium Soeharto untuk mengubah dan mengatur hubungan antara hutan dan masyarakat terlihat dalam sebuah instrumen yang dinamai dengan program pemukiman kembali serta program pertanian menetap, yang dikombinasikan dengan pembatasan akses pada hutan secara paksa. PP No. 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan serta kemudian PP No. 28/1985 tentang Perlindungan Hutan secara spesifik melarang akses masyarakat lokal pada hutan adat di dalam kawasan konsesi dan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah.


Gesekan antara pemerintah dan masyarakat pun mulai sering terjadi, yang dipicu oleh sikap pemerintah yang menganggap pemanfaatan sumber daya hutan oleh penduduk desa sebagai tindakan kriminal. Insiden-insiden antara masyarakat setempat dengan kepentingan bisnis kayu hutan yang didukung oleh pemerintah terjadi secara luas. Ketika berbagai insiden tersebut meluas menjadi tindakan kekerasan, pemerintah seringkali menggunakan kekuatan serdadu militer untuk menanggulanginya.


Selanjutnya, pada pertengahan 1980an sampai 1997, program penghutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.


Karena berbagai desakan yang dibangun oleh berbagai komponen dan koalisi masyarakat sipil, pada tahun 1998 sampai sekarang, mulai terjadi titik tolak perubahan kebijakan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mulai dimasukkan ke dalam kerangka kerja kehutanan yang sah, walaupun sistem lokal ini masih berada dibawah sistem kehutanan pemerintah.


Masa depan hutan Aceh memasuki tahun-tahun moratorium logging sejak diinstruksikannya pada tahun 2007 yang lalu oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf masih sarat dengan masalah. Aceh memang sedang ditakdirkan melewati masa transisi yang sulit. Namun masih disayangkan, bahwa sejumlah Hak Guna Usaha (HGU) sekarang kembali di izinkan oleh pejabat Pemerintahan Aceh. Sekali lagi, izin HGU ini hanya mampu dimiliki oleh sekelompok orang yang kaya raya. HGU masih tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan karena masyarakat kecil tidak memahami prosedur birokrasi yang berbelit dan mahal. Pak tani kita tetap saja tidak mempunyai modal untuk memulai. 

Eksploitasi sumber daya alam Aceh oleh Exxon Mobil
Kehadiran Exxon mobil sejak tahun 1968 ternyata hanya melahirkan ketimpangan ekonomi dan sosial, Meski pun perusahaan ini dapat mengeksploitasi gas alam hingga mencapai 3,4 juta ton per tahunnya, tetapi realitas ekonomi penduduk di sekitar mega industri itu masih tunggang langgang.


Exxon Mobil sejak hadir di Aceh sampai dengan sekarang masih menyisakan kontroversi. Menurut kesaksian masyarakat, tanah dirampas tanpa kompensasi yang cukup, operasi perusahaan menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan, dan,walaupun ada penyerapan tenaga kerja yang terkait dengan pembangunan awal, operasi perusahaaan gas ini telah gagal menurunkan angka kemiskinan yang berada di wilayah sekitarnya. Di atas semua itu, Exxon Mobil dan PT Arun, melalui hubungan mereka dengan TNI, tetap tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatan dalam konflik yang melanda Aceh sejak tahun 1970an.(Sumber:Lesley McCulloch, “Greed: The Silent Force of the Conflict in Aceh,” paper tidak diterbitkan, Deakin University, Melbourne, Australia (Oktober 2003), 4,http://www.preventconflict.org/portal/main/greed.pdf.).

Penutup 
 Di dalam sejarahnya, sumber daya alam Aceh kaya akan material-material bernilai tinggi dan menjadi perebutan banyak pihak, baik Negara melalui kebijakan formalnya, maupun perusahaan-perusaan asing melalui investasinya. Namun penguasaan yang menjajah oleh Negara melalui aturan-aturan formal yang tidak memihak kepada masyarakat penghuni sekitar sumber daya alam tersebut telah memunculkan berbagai persoalan sosial, ini menjadi sejarah buruk rakyat Aceh dari masa ke masa dimana meluasnya bentuk-bentuk kemiskinan massif yang ditandai oleh kelaparan di tengah kemewahan, putus sekolah massal di tengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal di tengah gaya hidup royal kaum pemodal.


Sejarah Aceh juga mencatat bahwa, terdapat penguasaan tanah yang luas oleh serdadu di era konflik. Beberapa kasus, seperti tanah masyarakat desa Mane, Aceh Pidie, yang berubah menjadi kompi Senapan, merupakan sebagian kecil konflik terbuka yang pada saat kejadiaannya dapat ditekan secara efektif melalui kekerasan. Rakyat kehilangan sarana produksi mereka yang paling penting, yaitu tanah.


Sebagian besar konflik tanah hutan yang lain terpaksa terpendam bagai bom waktu, seperti kasus penyerobotan tanah Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan di Seulawah, Aceh Besar, untuk membangun Markas Komando Brimob, yang titik letusnya menunggu melonggarnya cengkraman dan tekanan penguasa yang tengah berlaku. Rakyat Aceh sedang menunggu pengadilan sejarah atas sumber daya alam mereka.

Minggu, 16 September 2012

Membuat Aceh Bekerja




KONDISI ketenagakerjaan Februari 2012 di Aceh dilaporkan tidak terlalu menggembirakan. Berita Resmi Statistik BPS Aceh (7 Mei 2012) menyebutkan terjadi penambahan pengangguran sebanyak 15,4 ribu orang dan tingkat pengangguran terbuka dicatat 7,87% atau meningkat dari periode Agustus 2011 yang hanya 7.43%. Peningkatan tingkat pengangguran mungkin disebabkan oleh efek musiman dari pekerjaan di sektor pertanian yang menjadi penyerap lebih separuh tenaga kerja Aceh. 


Jika dilihat rekaman tingkat pengangguran Aceh secara tahunan, meskipun menurun namun kecenderungannya menyiratkan kekhawatiran. Jurang tingkat pengangguran antara Aceh dan rerata nasional makin menganga lebar. Laporan Perkembangan Ekonomi Aceh edisi November 2011 mencatat selisih antara tingkat pengangguran Aceh dan Nasional pada 2007, 2009 dan 2011 berturut-turut adalah 0,5 ; 1,2 dan 1,5. Trend ini menyimpulkan terjadi perlambatan penurunan tingkat pengangguran di Aceh relatif terhadap nasional.

 Sebuah kemubaziran
Dari sudut pandang ekonomi, pengangguran adalah sebuah kemubaziran. Berbagai potensi sumberdaya alam (kapital) tidak bernilai tambah ekonomi karena sumber daya manusia (SDM) tidak berkerja. Dari sisi sosial, pengangguran juga merupakan faktor utama dari ketidakbahagiaan. Stiglitz, Send an Fitoussi (2009) dalam laporan Measurement of Economic Performance and Social Progress, menyebutkan pekerjaan sangat berkorelasi positif dengan kualitas hidup karena ia memberikan identitas diri dan kepercayaan diri dalam pergaulan sosial. Penganggur juga lebih sering dilanda kesedihan dan stress. Makin lama berada dalam kondisi menganggur, akan menyebabkan kehilangan kapasitas dan motivasi untuk berkerja sehingga nantinya orang yang menganggur menjadi beban bahkan penyakit masyarakat.

Bagaimana mempercepat turunnya angka pengangguran di Aceh? Secara umum, ada tiga komponen penting yang mempengaruhi ketenagakerjaan, yaitu upah, pekerja, dan pemberi kerja. Upah merupakan sebuah titik temu antara kesepakatan pekerja dan pemberi kerja/perusahaan terkait dengan pekerjaan. Makin tinggi upah yang diminta oleh pekerja, makin sedikit pekerjaan yang dapat diberikan oleh perusahaan. Tingginya upah menjadi alasan bagi perusahaan beralih ke pasar tenaga kerja lain dengan upah yang lebih rendah.
 

BPS mencatat upah minimum regional (UMR) Aceh, Sumatera Utara dan Jawa Timur pada 2011 berturut-turut adalah Rp 1.350.000, Rp 1.035.000, dan Rp 705.000. Tingkat pengangguran pada Februari 2011 di masing-masing provinsi tersebut adalah 8,27%, 7,18%, dan 4,18%. Ini mungkin bisa menjadi alasan mengapa tingkat pengangguran di Aceh masih diatas rerata nasional mengingat UMR Aceh menempati urutan tertinggi ketiga setelah Papua dan Papua Barat.

Selain upah yang tinggi, pengangguran yang tinggi dapat juga dikarenakan oleh pekerja yang tersedia tidak sesuai dengan pekerjaan. Ketidaktersediaan kompetensi di suatu daerah dapat menjadi dis-insentif bagi investor untuk mendirikan usaha yang dapat menjadi sumber pekerjaan. Di sisi lain, ketidaksesuaian kompentesi dan pekerjaan akan menyebabkan produktivitas rendah yang akhirnya membuat perusahaan merugi dan hengkang ke tempat dimana produktivitas pekerjanya lebih tinggi.
 

Menurunnya industri migas Aceh dan belum tumbuhnya industri nonmigas lainnya memberikan tekanan pada sisi demand. Realisasi investasi yang relative rendah juga menyebabkan banyak tenaga kerja tidak terserap sehingga pengangguran menjadi tinggi. Diantara ketiga komponen tersebut, kiranya rendahnya demand atau pemberi kerja di Aceh merupakan permasalahan utama yang perlu diselesaikan. Lebih rumitnya lagi, permasalahan demand ini terkait erat dengan kedua permasalahan sebelumnya yaitu upah dan kualitas pekerja.

Kebijakan Ketenagakerjaan
Adalah tidaklah bijak bagi Pemerintah Aceh untuk menurunkan UMR sebagai respons tunggal untuk menarik lebih banyak perusahaan ke Aceh. Penetapan UMR adalah berdasarkan kalkulasi biaya hidup secara wajar di Aceh. Karenanya penurunan UMR harus disertai menurunkan biaya hidup di Aceh. Sudah dimaklumi bersama bahwa harga komoditas di Aceh banyak yang lebih mahal dibanding daerah lain. Sebagai contoh yang paling menyolok adalah daging sapi.
 

Pemerintah perlu mengusahakan efesiensi biaya dan pengendalian inflasi sesuai dengan mekanisme pasar. Inefesiensi dalam hal logistik maupun tataniaga perlu dikoreksi. Jika permasalahannya adalah di sisi supply, maka pemerintah harus member insentif bagi peningkatan produktivitas komoditas. Jika pasokan komoditas cukup namun harga komoditas tetap mahal maka sistem tata niaga dan logistik layak menjadi prioritas untuk dikoreksi. Permasalahan UMR akan menjadi hal yang sepele ketika pasar tenaga kerja Aceh mempunyai kualitas dan keunggulan spesifik dengan produktivitas yang tinggi.

 Memahami permintaan pasar
Aceh juga perlu mempersiapkan pasokan tenaga kerja yang sesuai dengan pasar. Kejelian pemerintah dalam memahami perkembangan permintaan pasar tenaga kerja dari waktu ke waktu menentukan kebijakan yang tepat dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Skema link and match atau triple helix yang menghubungkan antara pemerintah, lembaga pendidikan dan pasar perlu terus ditingkatkan guna menjamin kompetensi SDM yang dihasilkan. Masyarakat pun perlu diberi insentif melalui diseminasi informasi dan kebijakan lainnya sehingga termotivasi untuk mempersiapkan dirinya sebagai SDM yang andal baik sebagai pekerja maupun pemberi kerja (entrepreneur).

Pemerintah Aceh juga perlu membuat Aceh sebagai daerah yang menguntungkan untuk berbisnis. Konflik yang dulu menjadi alasan utama hengkangnya industri di Aceh kini telah berakhir. Perdamaian dan stabilitas keamanan perlu terus dipertahankan. Selain itu, praktik pungli dan ketidakpastian hukum menjadi prioritas utama untuk dilenyapkan. Hubungan industrial antara pekerja dan pemberi kerja harus dijamin terlaksana secara transparans dan berkeadilan. Produk hukum terkait dengan ketenagakerjaan harus menjamin kepentingan semua pihak. Ketersediaan infrastruktur yang memadai dan pekerja yang berkompeten tinggi akan membuat daya tarik Aceh semakin mempesona sebagai daerah kawasan bisnis. Selain itu, kewirausahaan perlu distimulir sehingga penciptaan lapangan pekerjaan tidak semata berasal dari investasi luar daerah, namun juga organik yang berasal dari Aceh sendiri.

Apabila ketiga komponen tersebut di atas (upah, pekerja/supply, dan pemberi kerja/demand) dapat dikelola dengan baik, maka pada akhirnya perusahaan atau pemberi kerja (demand) akan berbelanja di pasar tenaga kerja Aceh dan menyebabkan lebih banyak pekerja Aceh yang terserap dengan upah yang lebih tinggi. Wallahu a’lambisshawab.



Kamis, 13 September 2012

Sampah Bernilai Ekonomis


Unsyiah kaji pengelolaan sampah bernilai ekonomis

Senin, 27 Agustus 2012 15:31 WIB | 1527 Views
 Banyak sampah yang dihasilkan rumah tangga maupun sektor lainnya memiliki nilai ekonomis. Kami akan mengkaji ini dan mencoba mengembangkan bagaimana sampah ini memiliki nilai jual.
Berita Terkait
Banda Aceh (ANTARA News) - Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh mulai mengkaji pengelolaan sampah yang memiliki nilai ekonomis dan bisa dimanfaatkan kembali.

"Banyak sampah yang dihasilkan rumah tangga maupun sektor lainnya memiliki nilai ekonomis. Kami akan mengkaji ini dan mencoba mengembangkan bagaimana sampah ini memiliki nilai jual," kata Rektor Unsyiah, Samsul Rizal, di sela-sela seminar mengenai manajemen dan operasional tempat pembuangan akhir (TPA) sampah negara tropis, di Banda Aceh, Senin.

Menurut Rektor, sampah yang memiliki nilai ekonomis tersebut di antaranya yang bisa didaur ulang kembali, seperti plastik, kertas serta sampah organik.

"Kami akan membentuk tim pengkaji yang akan melakukan riset tentang sampah ini, termasuk yang memiliki nilai ekonomisnya untuk diterapkan di masyarakat," katanya.

Selain itu, Samsul Rizal menjelaskan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, kata Samsul Rizal, penanganan sampah tidak bisa lagi dilakukan di tempat terbuka.

Penanganannya, kata dia, harus dilakukan di tempat tertutup dan dilakukan pemilahan. Seperti sampah beracun di tempatkan di satu tempat. Begitu juga halnya dengan sampah yang memiliki nilai ekonomis, di tempat di satu tempat.

"Unsyiah akan menerapkan penanganan sampah seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut paling telat tahun depan. Nanti akan ada tiga tempat di setiap tempat sampah di Unsyiah, yakni untuk sampah organik, sampah daur ulang, maupun sampah beracun," katanya.

Kecuali itu, lanjut dia, pihaknya juga akan terus mengedukasi pemilahan sampah tersebut kepada masyarakat, sehingga memudahkan penanganannya di tempat pembuangan akhir.

(KR-HSA)
Editor: Ella Syafputri