Senin, 27 Agustus 2012


Pendidikan Aceh dalam Konteks MoU dan UUPA
Senin, 27 Agustus 2012 09:11 WIBMore Sharing Servic
SUNGGUH sebuah rahmat Allah swt didapat oleh Aceh berkat perjuangan yang melelahkan dengan dukungan dan kemauan dari semua pihak dalam memperjuangkan harkat dan martabat demi kesejahteraan rakyat Aceh. Dalam pasang surut perpolitikan Aceh telah beberapa kali menghasilkan momentum pembangunan dengan hak-hak istimewa yang tidak diperoleh oleh provinsi lain di Indonesia. Demikian pula lahirnya MoU Helsinki, satu perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 lalu, telah mengakhiri konflik yang telah berlangsung lebih kurang 30 tahun.

Satu butir yang sangat penting adalah Aceh diberi kewenangan untuk melaksanakan pembangunan dalam semua sektor publik, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama. Sampai saat ini masih banyak butir-butir MoU Helsinki dan UUPA yang belum diimplementasikan baik dalam bentuk regulasi maupun pelaksanaannya. Masalah inilah yang menjadi tekad dari visi dan misi Pemerintah Aceh sekarang di bawah kepemimpinan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf untuk mengimplementasikan MoU Helsinki dan UUPA dalam pembangunan Aceh di masa mendatang.

 Penyelenggaraan pendidikan
Atas dasar MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia telah menyetujui lahirnya UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Satu aspek pembangunan yang sangat penting yang secara politik telah diberi kewenangan kepada Pemerintah Aceh adalah penyelenggaraan pendidikan, namun tetap tak terpisahkan dengan sistem pendidikan nasional, sebagimana Pasal 215 ayat (1) Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat. Kalau kita perhatikan Pasal 7 ayat (1), di mana Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. Selanjutnya pada ayat (3) bahwa dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat: a. melaksanakan sendiri; b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota; dst. Selanjutnya dalam Pasal 218 (1) disebutkan bahwa, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota menetapkan kebijakan mengenai penyelenggaraan pendidikan formal, pendidikan dayah dan pendidikan nonformal lain melalui penetapan kurikulum inti dan standar mutu bagi semua jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari penjelasan dari UUPA di atas terlihat jelas bahwa adanya ketidakjelasan dan ketidaktegasan, di mana di satu pihak Pemerintah Aceh diberikan kewenangan untuk penyelenggaraan pendidikan, namun di pihak lain masih ada batasannya yaitu sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Masalahnya adalah sejauhmana kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah Aceh dalam penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam menetapkan kebijakan pendidikan, baik model, kelembagaan, kurikulum maupun standar mutu dan pengakuan kelulusannya pada semua jenis dan jenjang pendidikan baik pendidikan formal, nonformal maupun pendidikan dayah.

Pada dasarnya untuk mewujudkan model pendidikan di Aceh berdasarkan UUPA telah pernah disahkan Qanun No.5 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, yang merupakan hasil pembahasan dari Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, Dinas Pendidikan, Departemen Agama, Badan Dayah, Perguruan Tinggi, dan para pakar pendidikan. Namun kita belum melihat secara utuh satu model pendidikan Aceh sebagaimana diamanatkan UUPA, yaitu pendidikan Islami, terutama dalam pengembangan kelembagaan, perumusan kurikulum, pengakuan keberadaan pendidikan dayah, standar pelayanan minimal, kualitas lulusan, kompetensi teungku dayah sebagai tenaga pendidik, dan kewenangan antara Pemprov dengan Pemkab/Pemko. Karena itu, keinginan DPRA melalui Komisi E untuk merevisi Qanun No.5 Tahun 2008 sebagai hak inisiatif, kita sambut baik untuk kesempurnaannya.

Ironisnya kewenangan yang sudah tercantum dalam UUPA yang semestinya harus segera dilaksanakan, namun belum mampu diwujudkan, malah ada ketakutan dan keberatan dari beberapa pihak terhadap wacana pemberlakuan Pasal 263 UUPA itu (Serambi Indonesia, 13/8/2012). Masalahnya adalah kebijakan tersebut telah resmi tercantum dalam UUPA dan ada kekuatiran akan terancam kehilangan uang makan, tunjangan dan bahkan kemungkinan pemutusan kontrak. Kekhawatiran dan kegelisahan ini di satu sisi wajar. Namun, di sisi lain hal ini tidak perlu dikhawatirkan, di mana setiap penyerahan kewenangan biasanya akan diikuti pula dengan penyerahan pendanaan sebagaimana disebutkan Pasal 263 UUPA. Kalau yang sudah jelas diserahkan saja kita masih khawatir dan tidak berani melaksanakannya, bagaimana pula meminta pelimpahan kewenangan yang lainnya. Untuk itu kiranya perlu ada dukungan dari semua pihak dan mencari solusi terbaik, agar tidak ada yang dirugikan.

 Pendidikan Islami

Isi utama yang diamanatkan oleh UU-PA dalam penyelenggaraan pendidikan di Aceh adalah menjamin terlaksananya sistem pendidikan yang berbasis nilai islami dan bermutu. Masalahnya adalah bagaimana bentuk dan model pendidikan islami, yang didalamnya termasuk kurikulum, kompetensi tenaga pendidik, lingkungan sekolah, bahan ajar dan kompetensi lulusan yang diharapkan akan dikembangkan di Aceh, apakah model yang seperti yang sudah ada sekarang di bawah Departemen Pendidikan Nasional, model yang dikembangkan pada MI, MTs dan MA yang di bawah Departemen Agama, atau model pendidikan yang ada di dayah, atau mungkin ada model lain sebagai terobosan bagi pendidikan di Aceh, dimana khusus pendidikan Dasar terutama tingkat SD, penyelenggaraan pendidikannya dilaksanakan di dayah dengan pola boording school, mungkin ini menjadi sebuah pemikiran. Sebenarnya sejak tahun 2009, pendidikan Aceh telah memulai dengan pendidikan Islami, walaupun hanya baru sedikit perubahan dalam kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan sekolah dasar, yaitu pelajaran Baca Tulis Al-Qur’an, yang diharapkan agar setiap siswa yang lulus SD sudah harus mampu baca Alquran.

Di samping itu perlu adanya legalitas formal dan pengakuan terutama dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota terhadap keberadaan dayah, penetapan standar pelayanan minimal, tenaga pendidik/teungku dayah, dan yang lebih penting pengakuan terhadap ijazah sebagai kompetensi lulusan dayah. Untuk itu perlu kajian yang lebih mendalam lagi dan tertuang dalam Qanun Penyelenggaraan Pendidikan Dayah.

Yang jelas ini akan menjadi kajian bagi semua pihak terutama Pemerintah Aceh dan DPRA dalam melakukan revisi Qanun Nomor 5 Tahun 2008. Sebaiknya sebelum hasil revisi Qanun tersebut disahkan, perlu adanya kejelasan dan ketegasan dari Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama terhadap batasan kewenangan penyelenggaraan pendidikan di Aceh, sehingga Qanun baru yang akan dilahirkan itu bisa menjadi payung hukum penyelenggaraan pendidikan Aceh sesuai dengan semangat MoU Helsinki dan UUPA. Semoga!